Total Tayangan Halaman

Rabu, 31 Oktober 2012

Sebuah Cerpen: Reklamasi


REKLAMASI
Oleh Iswan Sual

Belumlah lama kami berada di kota ini serasa kulit nyaris terbakar. Kota ini tak punya barang sepohon untuk kami jadikan tempat berteduh. Padahal tahun 2009 kota ini menggelar hajatan internasional membahas isu-isu lingkungan hidup. Kawasan yang namanya mengabadikan peristiwa kemerdekaan negara ini tak sedikitpun memerdekakan kami dari sengatan matahari. Manusia bisa membuat neraka baginya sendiri dengan kelengahan dan pengabaiannya.
“Sayang, torang pigi di mall kwa e,” kata Della dengan raut muka masam tak karuan. Wajahnya belepotan dengan keringat. Tas plastik berat yang dia jinjing kian menambah penderitaannya. Namun, dia enggan meminta pertolonganku. Sesuatu yang unik dari perempuan ini. Seperti perempuan Amerika dan Jepang yang begitu independen. Tak mau bergantung pada orang lain selagi sesuatu itu dapat dilakukan sendiri. Aku beruntung.
“Mo pigi apa disana? Nyanda ada doi mo. Cuma mo beking siksa jo.”
Kalimat bernada sedikit kasar itu terlempar begitu saja kepada seorang wanita yang baru saja kuperistri bulan lalu. Kasihan dia. Kata-kata yang tak sepatutnya melesat cepat kena pada sasaran yang tak tepat.
“Nyanda e sayang. Mo pigi situ bukang mo babli. Kita so rasa kincing,” rasa berdosa bertambah ketika dengan lembut istriku mengutarakan alasan maksud kepergian kami kesana.
Dalam diam aku berjanji pada diri sendiri untuk tak lagi troa, gegabah, menanggapi setiap kata yang terucap dari bibirnya. Sangat tidak adil bukan bila gara-gara kemalasan untuk mendengar dengan sabar, akhirnya perempuan yang nantinya menjadi ibu anak-anakku ini menjadi sasaran reaksi cerobohku?
Untuk menebus kesalahanku, kurebut tas plastik berat dari tangannya untuk kubawa. Meskipun aku sendiri sedang memikul dua dos berisi peralatan rumah tangga yang sebagian besar bahannya terbuat dari logam. Kami membelinya di pasar Ampalima. Langkah tergesa-gesa mengantar kami ke gedung megah berlantai empat dengan cat mayoritas coklat tua dan coklat mudah. Berbagai papan besar bertuliskan huruf besar pula memenuhi bagian atas depannya. Tujuan kami adalah toilet lantai dua. Sayangnya, toilet lantai dua penuh sesak. Kami pun bergegas naik lift ke lantai tiga. Juga penuh sesak. Sampailah kami di lantai empat. Syukur. Di situ istri saya membuang isi kantong keminya dengan bebas.
“Ah! Plong sudah.”
Setelah istriku selesai dengan urusan buang airnya, kuajak dia menuju ruang lapang bernama Amazone. Ruang lapang ini, walau gaduh, banyak orang kelihatan gembira. Dinding warna-warni membuat suasana hati syahdu. Ternyata banyak yang palsu dalam ruangan itu. Lumut yang merayap di dinding hingga langit-langit adalah palsu. Dengan langkah pelan kami menelusuri satu per satu setiap titik dan sudut ruangan. Merasa lelah, kuajak istriku duduk pada bangku berbentuk binatang air. Kepala kami tetap bergerak kekiri dan kekanan melihat aneka permainan yang dioperasikan para pengunjung setelah memasukan koin berwarna abu-abu bertuliskan Amazone. Sontak, tiga anak kumal berlari masuk. Sungguh kontras. Anak-anak itu secara bergantian mencoba semua permainan yang kosong. Pertama mereka mulai mengendarai sepeda motor balap. Selanjutnya mobil balap. Mereka berlagak bermain betulan walaupun tak memasukan koin. Semua game dicoba. Dance floor. Drum station. Motor raid. Downhill bikers. Komidi putar.  Jackpot. Ridge racer. Bowling.Top tiger. Police car. Boxing. Punch Ball. Kereta. Ocean blue. Alangkah beruntungnya orang-orang kaya. Berbagai jenis permainan siap memanjakan mereka. Terpaut jauh dengan kami dulu. Permainnya itu itu saja. Lulutau, kuda kayu, kalie, senjata skiping, plinggir, toktok, lantaka.
Anak-anak kumal ini pasti bukan anak orang kaya. Mereka adalah anak-anak pesisir pantai kota Manado. Bapak-bapak terpaksa menjadi penganggur setelah pantai direklamasi atas restu pemerintah daerah. Ya ialah. Tentu atas restu pemerintah daerah. Dengan demikian, berarti mereka juga punya andil merenggut pantai dari para nelayan. Mereka juga yang menjadi biang keladi sehingga anak-anak gadis nelayan menjadi gadis panggilan. Menjual diri. Padahal dulu mereka sering membantu ibu mereka menjajakan ikan hasil tangkapan bapaknya di pasar Ampalima dan Calaca. Pemerintah juga yang menjadi biang kerok hingga anak-anak lelaki para nelayan banyak yang berprofesi sebagai doger-pencuri anjing.
Badan yang gerah karena keringat kini terasa adem dan sejuk. Mataku mencuri-curi pandang pada setiap gadis, mungkin lainnya sudah bukan gadis, dengan celana supermini yang mondar-mandir. Istriku tak sedikitpun cemburu. Barangkali dia yakin itu tak sertamerta akan membuatku menjadi seorang tukang selingkuh. Bisa saja, buat dia bisa saja hal itu bagaikan sebuah iklan saja di sela-sela film panjang. Hanya sebuah intermezo. Dia tahu betul bahwa dia akan tetap menjadi primadona ketika kami kembali ke rumah nanti. Gadis-gadis dengan pakaian ketat dan celana super mini hanyalah appetizer, pembangkit nafsu makan. Atau bisa saja gadis berpakaian minim dianggapnya hanya sebagai pemeran figuran dalam kisah cinta kami yang sempurna. Laksana cinta sejati Toar dan Lumimuut. Atau Pingkan dan Matindas.

Juni 2012

Sebuah Cerpen: Bunglon


BUNGLON
Oleh Iswan Sual, S.S

Pantat kini panas karena lama telah saling gesek  dengan kursi kayu batang kelapa. Mata juga kian terseok-seok  menelusuri jalanan huruf  bertumpuk rapih di atas kertas putih. Tambah lagi penerangan terlampau kikir. Kuputuskan keluar dari gedung berisi berbagai buku itu saat itu juga.
Pas di depan gedung kurogoh ponsel lebar berwarna coklat dari kantong celana jinsku yang juga berwarna coklat. Kuambil beberapa gambar gedung itu dengan menggunakan kamera ponsel yang lumayan bagus hasilnya. Sebagai tanda mata bahwa aku sudah pernah berkunjung ke perpustakaan daerah sulawesi utara. Perpustakaan penampung buku antik.
Keadaan di atas kepala sana gelap pekat. Butir-butir air mulai berjatuhan dari langit. Namun, mobil di jalan yang lalulalang kian padat dan tergesah-gesah. Niatku untuk menyeberangi jalan terhadang.  Butir air kian banyak jatuh menghantam wajah. Maka akupun nekat menyeberang.
“Pemai ngana!” teriak sopir dengan mata hampir lepas.
Aku balas memandanginya dengan tatapan seorang waraney. Ca wana parukuan, cawana pakuruan. Kekesalan sang sopir tak bisa dilampiaskan karena begitu banyaknya penumpang dalam mikronya. Pasti akan ada lebih dari lima orang yang akan membentaknya bila ia tak mengurungkan niatnya untuk turun dan mengapa-apakan diriku.
Butiran air yang sebesar kerikil kecil semakin banyak turunnya. Calon pasukan Paskibraka yang ada di tengah lapangan berhamburan berlari menuju tribune yang berhadapan dengan kantor walikota kota Manado. Tak ada halangan buatku untuk kesana juga. Tribune itu adalah tempat berteduh yang tepat agar tak basah oleh tumpahan air dari langit.
“Baris! Baris! Cepat..cepat! Jang santai ngoni!”
Teriakan senior kepada adik-adik calon paskibraka itu membawaku ke masa lalu. Saat di mana aku masih sekolah di Amurang dulu. Kala itu kak Azis menarikku seperti babi yang haram bagi dia ke tengah-tengah lokasi pekuburan. Beberapa kali tulang keringku beradu dengan sudut-sudut runcing kubur.  Aku tahu bahwa aku sedang dibawa untuk ditakut-takuti. Memang benar. Saat tutup mata kubuka, aku dilepaskan begitu saja di kuburan yang baru berumur tiga hari. Lilin dan kransnya masih baru.
“Woi! Menghayal ngana!”
Tiba-tiba lamunan masa laluku kabur tungganglanggang kembali ke masa lampau. Kucari tempat untuk menaruh pantatku untuk beristirahat. Gadis-gadis bertubuh tinggi dan berambut pendek berdiri tegak. Dua kelompok barisan berhadapan. Kakak senior yang tak terlalu tinggi itu berdiri di tengah berkacak pinggang. Sungguh pongah! Senior-senior yang adalah anggota paskibraka tahun lalu bergentayangan di antara barisan. Yang  lelaki mencari-cari kesalahan perempuan. Begitu pula sebaliknya. Rasa ingin bersentunhan dengan junior  mereka samarkan dengan marah-marah atau atau pura-pura membetulkan atribut. Topi sering menjadi sasaran. Namun, gara-gara gugup, bukannya jadi betul malah menjadi kacau. Dasar senior! Ada-ada saja.
“ini sudah tanggal 12 Juli! Sekali lagi ya, ini sudah tanggal 12! Kok gerakkan kalian tak ada perubahan sih. Serius kwa kalu latihan. Biar le ada ngana pe tamang, pe orang tua, pe cowo ato cewe, pandangan tetap kedepan. Ngoni ini mo pikul tugas brat. Ngoni suka mo beking malu dang?”
“Siap tidak kak!”
Mataku mengunjungi peserta satu persatu. Di antara pasukan putri ada dua yang berjilbab merah. Sepertinya mereka kembar.  Lekuk tubuh masih nampak biarpun mereka menggunakan seragam treining yang sangat longgar. Kulit putih dan tubuh sintal mereka membangkitkan hasrat kelakilakianku. Wajah ayu mereka menimbulkan ingin untuk kembali ke masa lalu. Alangkah berbahagianya kekasih-kekasih gadis-gadis ini.
Sesekali pandanganku kulempar jauh bila tiba-tiba gadis-gadis itu membalas tatapanku. Dari kejauhan kulihat kain biru panjang bergelayut di pinggang gedung walikota. Di tribune dimana ku bertedu juga demikian. Kok bisa ya? Seharusnya kan berwarna merah putih. Aha! Betul-betul. Baru kuingat sekarang. Walikotanya seorang yang diusung oleh partai berwarna biru. Pantas saja gedung perkantoran kebiru-biruan. Di Tondano bulan lalu saat dilaksanakan kegiatan perkemahan pemuda, wilayah itu didominasi warna kuning. Kantor-kantor pemerintahan juga begitu. Ternyata bisa ya. Kantor dan fasilitas umum bisa diwarnai apa saja sesuka pejabatnya. Gedung-gedung dan kantor-kantor seperti bunglon yang kerap berganti warna bila penguasa berganti.

Sebuah Puisi: Mengenang Silam


Mengenang Silam


terbesit goda kembali merangkul silam
mengenang tentang jaya
namun, kata mereka itu tak bijak
lain kini lain juga lampau

kuteruskan langkah
meraba-raba
biarlah mayapada yang bersabda
kemana jiwa mau berada

Tataaran, 3 Agustus 2012

Sebuah Puisi: Ujian Waktu


Ujian Waktu


bila hari ini kita bersama
itu karena aku ingin kita dekat
bila besok jarak tinggal di antara kita
ku yakin waktu akan berpihak

bukan hanya raga
sukma pun milikmu
bukan hanya kata
benak pun tertawan pesonamu

hanya, sabarlah jelitaku
biar tempo uji setia
walau samudra membentang di antara
jiwa erat saling rengkuh

Tataaran, 24/10/12
[Sebuah syair untuk Chintaku]

Sebuah Puisi: Marore di Suatu Siang


MARORE di SUATU SIANG

Tengah hari bisu
Angin tiada berhembus
Tak seperti hari pertama
Disambut gertak ombak
                Siang diam
                Bak di tengah hutan perawan
                Berharap ada yang menemukan
                Dalam botol kutitip pesan
Bukan pesan mohon tolong
Tapi berisi kekaguman
Pada pulau ini
Marore dengan pantai pasir putih
                Duhai, kau jelita
                Di tanah Minahasa
                Daratan kecil ini adalah surga
                Elok di setiap mata
Jujur, kangen padamu
Tiadalah terlalu
Sebab lekuk tubuhnya
Merayu-rayu bawa teduh
                Panasnya terasa sejuk
                Luasnya adalah kesederhanaan
                Lengangnya adalah perhatian
                Dan itu yang bikin aku tergila-gila

                                                                                                Marore, Sabtu 13 Oktober 2012