Total Tayangan Halaman

Senin, 21 Oktober 2013

Kongres Bahasa Manado I di Tondei adalah Tampeleng Terhadap Lembaga Pembinaan Bahasa SULUT





Selama dua hari (19-20 Oktober 2013) di Tondei Minahasa Selatan para budayawan, seniman, sastrawan, sejarawan,akademisi, jurnalis dan pemerhati bahasa berkongres membahas sejarah perkembangan dan upaya pembinaan serta pelestarian Bahasa dan Sastra Manado.
Akhir pekan itu membuat Balai Pertemuan Umum wanua Tondei Dua kembali menjadi saksi bisu pelaksanaan peristiwa bersejarah. Kala itu orang-orang dari beberapa wanua di Minahasa dan Ternate, Tolitoli, Poso, Nusa Utara, Jawa, bahkan Amerika Serikat menuju selatan Minahasa, wilayah Malesung tertua, untuk secara serius hadir dan bicara tentang satu Bahasa yang dipakai di seantero Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah tersebut. Lembaran edaran umum keluaran panitia menguraikan dalam bahasa Manado bahwa tujuan dari kegiatan tersebut: 1) Motingkatkan/mosenae tu peran deng fungsi bahasa deng sastra Manado yang jabentuk tu watak deng pekerti for forad ato dofoma hidop bamasyarakat, babangsa, deng bawanua; 2) Motanam ulang tu pande makatana (local genius) Manado for generasi muda spaya dorang lebe sopan, pande, deng loor batindak; 3) Moberdayakan bahasa deng sastra Manado for mokembangkan industri kreatif, kususnya lewat dunia batulis; 4) Motingkatkan tu peran pihak yang tagate (stakeholder) for  moola tu pande makatana Manado dalang pangertian hidop global deng multikultur. Sungguh fenomenal!
Dalam sambutannya ketika membuka kongres, ibu Nita Froma Lumapow sebagai Ukung Tua Tondei Satu, mengatakan, “Kita patut berbangga dan bersyukur karna di jaman ini masih ada pemuda-pemuda yang mau membuat kegiatan seperti ini (kongres, red). Tentu ini harus diberi apresiasi dan harus didukung sepenuhnya. Apalagi kegiatan ini dirangkai dengan acara HUT Tondei Raya ke-100. Kita sandiri, karna baru tapili, nyanda tau mulai kapan ini kampung so ada. Kong sapasapa tu Ukung-ukung Tua pertama.”
Ketika ditanya mengenai apa yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan ini, Iswan Sual yang adalah salah satu penggerak di Sanggar Tumondei mengatakan, “Ini Kongres Bahasa Manado I di Tondei adalah tampeleng terhadap lembaga pembinaan bahasa SULUT yang so tatidor. Ato mungkin so mati. Sampe skarang nyanda perna ada usaha deri dorang mo angka tu bahasa daera di Sulut. Apalagi tu Bahasa yang torang ja pake harihari, Bahasa Manado. Padahal, dorang wo’o pe tugas itu! Ato sto dorang sangaja spaya ini bahasa mo mati.”
Konsep Kongres Bahasa Manado yang dihelat di salah satu desa Kecamatan Motoling Barat itu tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, yakni serius dan terlalu kakuh atau membosankan. Kyapa bagitu? Ini karena jalannya pertemuan itu pun dibarengi canda tawa dan keakraban. Bahkan diselingi ekspresi bebas seperti baca puisi oleh Chandra Rooroh, pagelaran tarian Kabasaran dan Patokaan dari Tuama dan wewene Tondei serta Sanggar Toar Lumimuut FBS UNIMA, Pementasan drama monolog oleh Teater Ungu FBS UNIMA, dan pelantunan lagu pop Manado oleh Sofyan Jimmy Yosadi cs. Selain itu awal dan akhir acara ini juga diperkaya lagi dengan peluncuran buku Antologi Puisi dan Cirita Pende “Tagulung” karya Yanli V. Sengkey dan “Sejarah Tondei (Keadaan Sampai Tahun 1989) karya Nyonya A.J. Bujung Moningka. Peluncuran ini disaksikan sejarawan muda Minahasa, Bodewyn Talumewo. Dan dalam kesempatan itu Tiffany Sumangkut selaku ketua Kerukunan Siswa Mahasiswa Tondei (KSMT) menghadiahkan Buku sejarah kepada Media Sulut yang diwakili oleh Rikson Karundeng. Media ini dikira mewakili khalayak ramai dan dianggap paling getol mendukung perjuangan kebudayaan kaum muda Minahasa di Sulawesi Utara.
Setiap peserta kongres punya kesan tentang Bahasa Manado. Selain peserta dari SULUT dan SULTENG, Ronald Whisler dari Lembaga Penerjemahan Wycliffe, di Amerika di sela-sela penyampaian makalanya, mengatakan bahwa, “Bahasa Manado mesti dijaga karena itu adalah kekayaan. Salah satu suku di Afrika pernah diberikan Alkitab berbahasa Spanyol oleh misionaris. Mereka sulit dikristenkan karena mereka mengatakan bahwa mereka tidak mau menyembah Tuhan yang tidak bisa bicara bahasa daerah mereka.” Senada dengan itu, Agus Pranata, seorang Jawa, sebagai salah satu aktifis perwakilan PRD pusat, “Bahasa Manado adalah bahasa yang menunjukkan identas. Bahasa ini menggambarkan orang Manado sebagai orang yang suka bicara lugas, langsung dan terus terang. Tidak sama dengan bahasa lain yang justru menunjukkan strata sosial.
Ada satu hal yang langka lagi dari acara ini. Di sesi terakhir tidak ada penandatangan kesepakatan bersama di atas kertas yang sifafnya mengikat. Peserta malah masing-masing diberikan kesempatan membaca sebuah kesimpulan, komitmen atau kredo pribadi mengenai bagaimana mengembangkan dan melestarikan bahasa dan sastra Manado.
“Torang pe kesepakatan adalah torang nyanda sepakat ada standarisasi/pembakuan Bahasa Manado. Itu mobeking ada orang yang mo dapa stigmatisasi ‘ini tu butul ini sala’. Torang nyanda mau mengulangi kegagalan Bahasa Indonesia, “demikian kata Denny Pinontoan, Sofyan Jimmy Yosadi dan Fredy Sreudeman Wowor sebagai sanggahan kepada Iswadi Sual dan Chandra Rooroh yang mewakili kelompok yang memperjuangkan pembakuan Bahasa Manado.