Total Tayangan Halaman

Rabu, 01 Mei 2013

TUMETE AM PA’TETEANG NI TETEANG I TETE’[1]




[sebuah cerpen]
Oleh Iswan Sual

Semua orang terkesima. Di media elektronik, seorang pejabat muda di posisi puncak dan terkenal bermartabat diciduk oleh aparat hukum secara mendadak tadi pagi. Tepat saat dia akan berangkat ke kantornya. Usianya masih sebaya denganku. Bukan hanya itu saja. Dia bahkan masih sedarah denganku. Kebanggaan orang desa karena ada orang sekampung bertengger di tingkat nasional tiba-tiba sirna. Misi untuk merubah negeri kandas oleh tawar menawar jabatan dan kekuasaan. Dan dia hanyut oleh arus politik negeri yang begitu deras. Penuh intrik dan tipu muslihat. Dia yang bersih, ujung-ujung ikut bermain kotor karena dituntut oleh keadaan. “Katakan tidak pada korupsi,” pekiknya sewaktu berdiri di podium lima tahun lampau. Selang beberapa bulan, dia bilang, “kalau aku terbukti korupsi, gantung aku di Monas.”
Dulu sudah kuperingatkan. Sewaktu dia masih melakukan kesalahan kecil. Ikut-ikutan terseret oleh permainan mentornya. Orang yang dia puja karena memberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.  Orang yang mengajarkan bahwa penghalalan cara diterima asalkan untuk orang banyak. Lalu, berangsur-angsur dia pun ketagihan dan terus menerus menghalalkan segala cara.
Tapi aku tetap terpukul karena menyaksikan aib saudaraku berulang-ulang disiarkan di media masa. Jutaan rakyat yang dulu mengaguminya kini menyumpahinya. Hanya orang-orang  sekampung yang masih merasa ibah. Sungguh kasihan! Pemuda yang begitu lugu, luluh dimakan zaman. Tergiur oleh tawaran dunia yang nampak menjanjikan.
***
“Semua ini salahmu!”
“Apa katamu? Aku yang salah?”
“Iya! Kalau bukan kamu, siapa lagi, hah? Sudah kubilang jangan pernah membuat perjanjian dengan setan!”
“Apa kamu bilang? Kamu bilang mereka setan? Tidak tahu balas budi kamu ya! Apa kamu lupa kita jadi sejahtera begini adalah karena mereka berbagi kasih dengan kita? Kamu masih ingat tidak keadaan kita dulu? Apalagi yang kurang sekarang? Kita punya rumah megah, tabungan di bank yang berlimpah, mobil mewah semua anak kita sukses dan hidup kaya.”
“Kamu barangkali bersyukur dengan hidup kita ini. Tetapi aku tidak. Kehidupan yang penuh kemudahan dan kemewahan ini adalah semu. Batinku tidak pernah tenang. Aku muak dengan semua ini!”
“Hei perempuan! Kamu tak tahu diuntung. Kamu tak tahu bersyukur!”
“Hentikan! Hentikan semua kebohongan ini! Kamu kira aku tak tahu semua. Semua kekayaan ini diperoleh dengan curang. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu juga punya simpanan. Hentikan semua ini! Anak kita telah menjadi tumbal kerakusan kita.” si lelaki terdiam seribu bahasa. Muka menghadap tanah.
“…kalau saja kita mulai dengan jujur…tentu tidak akan begini.”
Sofa, lantai berubin mahal, permadani dan lemari antik yang besar beserta semua peralatan elektronik canggih dalam ruangan itu membisu. Begitu juga foto keluarga penuh senyum yang megah yang tergantung di tembok. Tangis tak lagi terdengar. Tangis hanya membahana dalam dinding dada mereka berdua. Ingatan akan masa lalu membayang. Dimulai ketika anak pertama mereka lahir. Kemudian disekolahkan. Mulai saat itu mereka menghambakan diri pada seorang tuan besar. Seorang yang kaya dan berpendidikan tinggi. Terlalu hormat mereka pada orang itu. Sehingga semua sabda dan tingkahnya pun dianggap benar oleh mereka. Semua itu diterima saja. Bahkan dianggap sebagai kebenaran. Semua dilandasi oleh kehendak untuk hidup “lebih baik”.
Waktu itu banyak orang menegur. Tapi itu dianggap sebagai angin lalu. Maklum, teguran yang datang dari orang yang tak berada dan tak berhikmat tinggi. Tak memiliki jabatan dan nyaris seperti gembel. Apalagi teguran dariku. Beberapa kali aku datang mengingatkan tapi kata-kata itu dianggap telah usang.
“Paman, masih ingatkah sebuah pesan leluhur yang kita pegang selama ini? Tumete am pa’teteang ni teteang i tete’...,” kataku.
“Kamu benar. Tapi ingat, kita masih di dunia! Wo’bas pe’ ko. Keliang pe’ sangkumnu[2].
Aku pun kehabisan kata. Dan nyaris kehabisan asa untuk mengingatkan agar pamanku meninggalkan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan warisan leluhur. Tapi rasa perduli memaksa aku untuk terus bicara. Mencegah saudara-saudaraku jatuh ke dalam ngarai yang lebar menganga. Namun, lama-lama aku kian terdesak untuk segera angkat kaki dan menjauh. Wajah tak senangnya yang memaksaku…
“Baiklah kalau begitu. Simpan kebaikan paman sekarang dan tunaikan itu saat telah berada di surga kelak. Semoga itu akan berguna. Tapi sebelum aku pergi. Kutinggalkan surat ini. Bacalah sesegera mungkin. ”
***
Seorang lelaki berjalan terhuyung-huyung menuju kamarnya. Tatapannya nanar karena telah seharian menangis dengan perut tak berisi. Dia teringat sebuah surat yang diberi oleh seorang pemuda sepuluh tahun yang lalu. Kini dia tak yakin dimana letak surat itu. Namun, dia harus menemukan itu sekarang. Barangkali ada jawaban. Mungkin ada penghiburan. Diantara tumpukan berkas-berkas lama dia akhirnya menemukan yang dia cari. Selembar kertas terlipat dua. Kertas yang sudah berubah warna. Kekuningkuningan. Ditulis dengan tangan. Dia mulai membacanya…
Paman yang baik,

Ini sebenarnya bukan surat yang aku tulis sendiri. Ini hanya surat dari orang lain yang bernama Yohanes. Tentu Paman mengenalnya. Karena paman adalah seorang diaken. Telah lama ingin kuteruskan kepada Paman. Bacalah sampai selesai.

[Aku menulis kepada kamu, hai anak-anak, karena kamu mengenal Bapa. Aku menulis kepada kamu, hai bapa-bapa, karena kamu mengenal Dia, yang ada dari mulanya.... Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu. Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.
Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, seorang antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus. Itulah tandanya, bahwa waktu ini benar-benar adalah waktu yang terakhir.
Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.
Tetapi kamu telah beroleh pengurapan dari Yang Kudus, dan dengan demikian kamu semua mengetahuinya.
Aku menulis kepadamu, bukan karena kamu tidak mengetahui kebenaran, tetapi justru karena kamu mengetahuinya dan karena kamu juga mengetahui, bahwa tidak ada dusta yang berasal dari kebenaran[3].]

Lega sudah ketika surat ini telah paman baca.


Peluk dan sayang dari,




            Lenas


NB: Paulus juga titip pesan. Katanya, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna[4].



[1] Berjalan pada jalan yang benar. Secara harafiah berarti meniti pada titian yang dititi oleh si kakek. (Bhs. Tontemboan)
[2] Kamu masih muda. Masih banyak yang akan kami hadapi. (Bhs. Tontemboan)
[3] Kutipan dari 1 Yohanes 2:14-21
[4] Kutipan dari Roma 12:2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar