1.
Permen untuk Bahu
Sesampai di terminal Karombasan,
cepat-cepat aku naik ke bus dan mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela.
Karena matahari sangat terik kubuka sedikit jendela agar udara segar bisa
masuk. Walaupun sebenarnya udara segar itu sudah sedikit tercemar oleh bau
pesing dan sisa makanan yang dibuang secara sembarang di selokan. Beberapa anak
dan lelaki dewasa bergantian menempel di kaca jendela untuk memamerkan
jualannya. Diselingi rayuan-rayuan kecil nan lucu yang sudah usang. Mereka
menjual buah kadondong yang telah dicelup dalam gula selama semalam. Aku paling
tidak suka membeli yang manis-manis di kala matahari penuh dendam membakar. Tak
banyak pemandangan indah bisa dinikmati di terminal ini. Bus yang telah
berdempetan seperti ikang roa menghalangi pandangan mata yang
mencari-cari sesuatu yang bisa menyebabkan kita panjang umur.
Karena panas kian tak tertahan kucabut
koran yang aku tohokkan di saku samping tas punggungku. Kubalik-balikkan koran
mencari berita yang mampu mengusir kegerahan dalam bus bak oven pemanggang.
Kalau waktu dalam oven ini diperpanjang lagi pasti semua penumpang akan tafufu
seperti ikan cakalang. Koran yang sedang kubaca sesekali kualihfungsikan
sebagai kipas. Kondektur masih terus meneriakkan nama kampung asal Om Sam
Ratulangi. Tondano menjadi begitu murah di terminal Karombasan karena
diteriakkan berkali-kali menyaingi sebungkus kacang dari mulut para tunanetra.
“Tondano…Tondano…Tondano,” kata kondektur.
Semua
penumpang makin gelisah. Semua kami menjadi cacing kepanasan yang
meliuk-liuk dalam panggangan. Kesabaran. Yang dibutuhkan dalam keadaan seperti
itu hanyalah kesabaran. Sebab tak mungkinlah kami turun mencari angin terlebih
dahulu. Orang lain akan sangat senang mengganti posisi kami.
“Tondano…Tondano! Satu lei”
Tak sengaja mataku tertuju ke depan.
Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut terurai berdiri di pintu bus
memindai setiap kursi. Akupun ikut memindai. Beberapa kursi masih kosong. Di
sebelahku juga masih kosong. Mata kami bertemu selama tiga detik. Gadis itu
bukan main cantiknya. Dia adalah representasi gadis Minahasa yang sempurna
secara fisik.
Karena tak ingin harga diri jatuh, aku
menunduk berpura-pura melanjutkan membaca. Potret gadis itu tersimpan dalam
benak. Dia berkaos merah dan celana jins panjang hitam. Wajahnya mirip Dian
Sastro. Aduhai! Bilamanakah seorang lelaki kampungan seperti saya bisa mendapat
seorang gadis seperti Dian Sastro Mimpi kali ye!
Tak beberapa lama kemudian seseorang
telah duduk di sampingku. Tak berniat aku menoleh sedikitpun ke samping.
Sungguh tak sopan bila harus bertemu muka dengan jarak yang teramat dekat. Aku
bergeser sedikit ke jendela. Leher yang mulai keram perlu sedikit rileks. Jadi,
kusandarkan sejenak kepalaku di kaca jendela. Seketika itu sang sopir
menghidupkan mesin. Badan buspun sedikit gemetar sehingga kepalaku terbentur
kecil-kecil di kaca jendela. Lama-lama rasa kantuk mulai datang. Orang yang
duduk di sebelahku rupanya juga mengalami gejalah yang sama. Kepala orang yang
duduk di sebelahku bergerak maju mundur seperti tak terkontrol. Rupanya
kantuknya lebih parah dariku. Saat kesadaranku sedikit menghilang, terasa ada
yang menepuk-nepuk bahu. Awalnya kuanggap tepukan itu dilakukan secara
kebetulan. Biasanya orang yang memuat barang di bagasi atas kepala secara tak
sengaja menyangkutkan barang pada penumpang terdekat. Lama-lama tepukkan itu
makin keras dan mulai agak kasar. Dengan sedikit kesal aku menoleh ke arah yang
mengusik itu. Ya ampun! Dian Sastro rupanya yang menepuk-nepukku. Aku tersentak
senang. Ternyata Dian Sastro mau juga menyentuh seorang lelaki kampungan ini.
“Cowo, bole pinjam bahu?” tiba-tiba
Dian Sastro bicara.
Aku kaget setengah mati. Apa aku mimpi
di siang bolong? Mana mungkin Dian Sastro mau meminjam bahuku. Jangankan
meminjamkan, memberikan untuk selamanya pun aku rela.
Kutarik nafas dalam diam-diam.
Kupandangi Dian Sastro dengan sedikit pongah dan kuanggukkan kepada sebagai
tanda memberi izin agar bebas menaruh bahunya di pundakku. Jantungku yang
berdebar kutakhlukan agar tak liar. Badanku yang mulai gemetar segera kukuasai.
Dian Sastro akhirnya mendaratkan pipi kanannya ke pundakku.
Orang yang duduk di kursi belakang dan
depan serta samping pasti takkan percaya bahwa dia bukan kekasihku. Kemesraan
ini jangan cepat berlalu. Aku berharap bus meluncur dengan kecepatan kurang
dari 40 km per jam. Aku juga berharap bus ini mogok di area penginapan
Makatembo Tinoor. Pasti suasana di situ akan menambah keromantisan Dian Sastro
dan aku.
Tapi rupanya sopir cemburu dengan
kemesraan ini. Lari bus tak terkendali. Hampir mencapai 80 km per jam. Jalan
yang penuh dengan kelok tak dipedulikannya. Berkali-kali Dian Sastro
terhuyung-huyung membentur punggung kursi depan. Dalam setengah tidur Dian
Sastro merapat lebih dekat. Dipeluk erat
lenganku. Dalam diam aku salah tingkah.
Dalam diam aku bertanya-tanya, “Kenapa
gadis ini berani meminjam bahu seseorang yang tak dikenalnya?” Mungkin hal ini
adalah sudah biasa bagi dia. Gadis ini mungkin kecapean karena semalam bekerja
sebagai seorang penari telanjang di suatu tempat hiburan malam di pusat kota.
Barangkali goyangan-goyangan aduhainya begitu menguras tenaga si keke. Atau,
mungkin semalam dia melayani beberapa pelanggan yang tak punya hati, tak
memberinya jedah. Dipakai kala ganti oleh pelanggan yang umumnya
orang-orang penting yang lelah berdebat sepanjang hari untuk memperebutkan
proyek atau jumlah anggaran untuk studi banding mereka ke Bali atau Singapura.
Gadis belia ini mungkin hendak melepas penat di kampungnya dekat danau Tondano.
Bus kini sudah memasuki kota Tomohon.
Sejurus kemudian muncul perasaan tak sedap. Ya Tuhan! Sungguh tak tahu diri.
Kenapa aku asyik saja dengan seorang gadis hingga lupa sama sekali ada seorang
gadis lain yang dengan setia menungguku di kamar kos. Celaka. Aku bisa celaka!
Kupindai lagi kursi-kursi yang telah
berpenumpang. Mencuri-mencuri pandang kalau-kalau ada yang kenal aku. Gawat.
Bisa kualat! Sofli pasti takkan senang tahu aku bermesraan dengan seorang gadis
di dalam bus. Tempat umum.
Perasaanku kini campur aduk.
Sentuhan-sentuhan Dian Sastro kian mengancamku. Tentu Sofli takkan sudi
mendengar lagi penjelasan bila aku tertangkap basah olehnya atau oleh kawan
terpercayannya. Makin bus mendekati Tondano jantungku kian melompat tak karuan.
Dinding dada serasa mau jebol. Dian Sastro tiba-tiba bangun. Diperbaiki
wajahnya. Dia memandangiku. Mungkin ingin tahu betul rupa seorang malaikat yang
meminjamkannya sebuah bahu. Aku balas tersenyum, “puas kau tidur kek,” kataku
dalam diam.
Dian Sastro merogoh saku jinsnya.
Terdengar suara gemerisik.
“Mau permen?” gadis ini memiliki senyum
yang indah. Sungguh aku takkan menolak bila nanti dia memintaku meminjamkanya
bahu lagi.
Hingga kini aku tetap jaim. Tak
sedikitpun kunampakkan bahwa aku sangat terkesan dengan kelakuan beraninya.
Dalam hati aku bersyukur pada ilahi yang telah mengirim seorang gadis pengusir
penat dalam kebisingan raungan bus sepanjang perjalanan Manado-Tondano.
Ingin sekali aku meminta nomor
ponselnya, namun kulempar jauh-jauh keinginan itu. Tak mau aku keadaan yang
tadinya indah akan rusak oleh kecerobohanku yang kekanak-kanakkan.
“Muka om!”
Kuturun dari bus tanpa mengucap sepatah
kata pun pada gadis peminjam bahu. Dia juga enggan bicara. Sudah cukup dia
menahan malu karena telah lancang meminjam bahu seorang yang tak dia tahu sudah
menikah atau belum. Hanya nalurilah yang membuat dia yakin bahwa aku masih
bujangan. Dalam hal itu dia tak salah.
Ketika bus sudah menjauh aku tersenyum
puas. Dalam diam kuucapkan, “Selamat jalan Dian Sastro. Semoga kamu tiba dengan
selamat sampai tujuan. Biarlah hal itu menjadi rahasia kita berdua. Perhatian
singkat yang aku beri adalah tulus. Sesekali kunjungilah aku dalam mimpi.”
2.
Balas Dendam
Dengan keseriusan yang mendalam,
ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah
harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks.
Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya.
Menurutku berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya
adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi
perbandingannya adalah 80% dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja
aku membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk
karya-karyaku nanti.
Di petang itu, matahari seakan menunda
tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku
berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut
seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu
akan melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala.
Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak
lagi pernah kudengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat
atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,”
aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita
pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu
nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa
kita?”
Kyapa ngana telpon.
Kutanyakan sekali lagi pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku.
Padahal aku sama sekali tak peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus
saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat
menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya
aku mencoba mengingatkannya supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf.
Dia malah menimpali, “Tak ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi,
terjadilah. Lagipula, kita tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik
dengan terusan saja menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah.
Malu. Malu pada seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia
padaku meskipun aku telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya
bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia
kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas
ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti
dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita
serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita
pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to?
Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang.
Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak
akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa
pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat.
Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi
pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah
gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin
ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak
sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang
dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam
daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya berbeda?
Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus mempertanggungjawabkan
semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki semua kerusakan yang
telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata tak
salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda
denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap
saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik
dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti
seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh
pundakku. Kami masuki sebuah café remang-remang. Solaria. Dulu tempat aku dan
teman-teman mengadakan pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai
teori-teori yang tak berguna sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di
sini juga kami menyusun rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk
pendampingan kepada masyarakat kota Manado yang menjadi korban penggusuran
brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan
dipentungi karena tetap bertahan. Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup.
Pemerintah malah lebih mengutamakan pengusaha besar yang berduit banyak
daripada pengusaha kelas ikang puti yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku
mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak
suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir
keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga
di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi
seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan
atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil
mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak
nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita
tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama
makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup
kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia
kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia
berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian
merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat
sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala
tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja
Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita
yang bayar. Kakak nda usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum tipis.
Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia pun
makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih
sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku.
Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah
kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu
aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang
disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan
bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik
Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu
jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang
seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu
tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius mencintainya
lalu kami sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut dalam kemelaratan
bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina
sambil mengambil tasnya yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga
punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil
menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada
tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan
fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat
kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal.
Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak.
Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan
kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini
Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam
penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan
turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah
membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real
Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang
gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan
keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan?
Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti dia telah
diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik daripada
orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku
sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari
dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya
ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal
dengan semua kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang
istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu
Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi
punya keberanian untuk berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak
pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata
mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk
sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi
dari kakak. Samua yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita
ini cantik. Samua yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so
cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita
blajar, kalu kita lei sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa
kakak for mo dapa apa yang kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak
kase tinggal dulu. Mar kita nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi
mo cari kakak pe cinta sejati supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu
kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah kita pe kebahagiaan juga.”
Aku menunduk malu. Tak pantas aku
mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia
sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal?
Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan
seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada
padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang
berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa.
Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip
pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra
Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami
bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta
kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan
Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah
menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun
yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi
kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar
sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut
akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung
setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:
3.
Desi, Aku Sungguh Menyesal
Hingga kini aku masih merasa bersalah.
Rasa bersalah ini muncul ketika aku sedang banyak masalah. Inilah mungkin yang
disebut hukum karma. Yang dulu itu tak ku percaya. Aku tak pernah percaya
dengan hukum tabur tuai yang pernah disabdakan oleh seorang bujang yang terus
melajang hingga digantung hingga mati
oleh saudara-saudaranya sendiri- orang Yahudi.
Aku masih teringat gadis yang bernama
Desi. Gadis yang begitu lugu. Malu-malu. Sedikit misterius namun ternyata
bercita-cita mencintaiku dengan serius. Aku yang tahu dengan perasaannya tak
sedikit pun peduli. Tapi tak sedikit pun aku menampakkan ketidaksukaanku
padanya. Aku senang gadis-gadis tergila-gila padaku. Kubiarkan mereka mengejar.
Aku membuat segalanya menggantung. Hingga suatu saat aku sendiri yang kena
batunya.
***
Di tahun 2008 aku mendapat beasiswa 3
bulan untuk belajar kebudayaan dan teknologi serta hal-hal lain di Australia.
Sebelum berangkat aku sempat bertemu dengan seorang gadis berdarah China
bernama Meisyi. Semula aku membuatnya menggantung. Lama-lama aku yang
menggantung. Barangkali, karena aku tak bisa menampik rayuan kulit putih dan
tubuhnya yang seksi. Suaranya yang mengundang itu sulit kulupakan. Akhirnya
kunekatkan diri. Aku mengajaknya bertemu beberapa jam sebelum aku berangkat ke
Australia. Awalnya, aku bermaksud menyampaikan isi hatiku setelah aku pulang
dari negeri kangguru itu. Tapi Meisyi tak bisa tersiksa oleh karena penasaran.
Dia merengek-rengek supaya aku merubah keputusan sepihak yang telah aku ambil.
“Jangan begitulah, Kamang. Jangan buat
aku tersiksa menunggu sesuatu yang tak jelas.”
Melalui telpon dia terus membujukku.
Dia memberi tanda bahwa dia sebenarnya sudah tahu. Namun, dia tak ingin aku
menahan perasaan. Seolah dia pun siap mengiyakan apa yang belum aku ungkapkan.
“Baiklah. Mari kita bertemu dua jam
lagi.”
Dia berulang kali mengungkapkan bahwa
dia tidak percaya dengan kepergianku ke Australia. Dia tahu itu hanya
akal-akalanku saja agar suasana serupa dengan film-film remaja Indonesia yang
romantis kampungan itu. Dia mengejekku karena menggunakan cara-cara yang kuno
di jaman yang sudah demikian maju. Aku tertantang dengan semua ocehannya.
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah
berusaha jujur padamu.”
Agak sedikit kesal sebenarnya. Belum
tentu kami akan menjadi sepasang kekasih. Tapi, hubungan yang tak pasti ini
telah dimulai oleh ketidakpercayaan darinya.
Dengan
sepeda motor aku melaju ke kota Manado. Tukang ojeknya beberapa kali aku
peringatkan supaya menambah kecepatan. Dia bilang motor sudah melaju pada batas
kecepatan maksimal. Ini gila! Demi bertemu dengan seorang gadis aku memaksa
tukang ojek untuk secara tak langsung membunuh kami berdua di perjalanan.
Benar-benar sesuai dengan teori-teori psikoanalisanya Sigmund Freud. Seks
menjadi alasan orang untuk sukses. Seks menjadi alasan orang untuk kaya. Seks
menjadi alasan orang untuk menjadi orang terhormat.
Perjalanan ditempuh tak sampai satu
jam. Dengan langkah cepat aku turun dari ojek. Kuminta tukang ojek menunggu.
Dari jauh kulihat Meisy dengan seragam putih hitamnya. Seperti pegawai
koperasi. Tapi seragam itu begitu serasi dengan tubuhnya yang putih. Setelah
setahun lebih kami tak bertemu, dia menjadi lebih Tionghoa. Aku merasa jadi tak
pantas menjadi kekasihnya. Kulitku yang gelap, jika disanding dengannya pasti
anak kami akan menjadi kopi susu.
“Apa yang sebenarnya ingin kamu
katakan, Kamang? Kalau kamu memang ingin membuat aku penasaran, kamu berhasil.
Aku kalah. Kamu yang menang.”
Kupandangi terus wajahnya yang
menawarkan sejuta keindahan. Tubuh rampingan yang molek serasa melarangku
terbang ke negeri kangguru. Gadis-gadis putih di sana taklah sebanding dengan
gadis yang ada di depan mata.
“Kamang, ayo katakan. Atau, haruskah
kita mencari tempat lain agar semakin romantis?” kata Meysi dengan sedikit mengejek.
Aku menarik tangannya dan kami menuju
ke tempat yang agak sunyi. Tepat di depan tokoh yang belum dibuka. Yang kuingat
toko itu berwarna merah. Ada tulisan berbagai jenis merek ponsel. Meysi tidak
sedikitpun merasa risih aku membawanya kesitu. Malahan, dia menatapku dengan
pandangan menantang. Tak kusangkah gadis yang beberapa tahun lalu masih
menggunakan seragam SMP ini sudah siap-siap ikut perpeloncoan sebagai mahasiswa
baru. Sedari masih di kampung dia tak pernah terhindarkan oleh tatapan mataku jika
melirik. Selalu saja dia menjadi tujuan dua mata keranjangku.
“Apa sih yang ingin kamu bilang,
kamang?”
“Aku tak mau berbasa-basi sekarang. Aku
suka kamu. Aku tak peduli kalau kamu mempunyai perasaan yang sama denganku. Aku
aku puas kalau sudah bisa mengatakan isi hatiku yang telah lama dipendam.”
Dengan gerakan tak terduga kini aku
sudah ada dalam dekapannya. Beberapa kali bibirnya yang selalu basah itu
mendarat tepat di wajahku yang berkeringat karena matahari mulai garang
memanggang. Aku mendapat tiga kali kecupan berturut. Satu di dahi. Satu di pipi
dan satu lagi dibibir.
“Sebenarnya kamu mau kemana?”
“Aku akan ke negeri yang dibangun oleh
orang narapidana yang dibuang. Aku akan ke Australia. Kutunggu aku kembali.
Segera setelah aku tiba di Manado, aku akan langsung menemuimu.”
Meysi terdiam. Dia kini percaya. Dia
mulai merasa kehilangan. Sesuatu yang baru didapatnya kini harus dipisahkan
oleh samudra yang luas. Kini lamunannya melampung ke negeri kangguru. Kepalanya
mulai menghitung lamanya tiga bulan itu. Padahal bagi orang yang dimabuk cinta.
Satu hari itu sama dengan satu tahun.
“Aku harus pergi sekarang. Kalau tidak,
nanti ketinggalan pesawat.”
Meysi kelihatan lunglai. Tak sepatah
kata meluncur dari mulutnya. Aku melompat ke punggung sepeda motor. Dan memberi
isyarat agar dengan kecepatan penuh menuju ke bandara. Meysi tampak belum siap
dengan kepergianku. Dia memikirkan tindakan terakhirku yang menghindari ketika
ia akan sekali lagi mendekapku. Aku tak lagi berpaling padanya. Tapi aku tahu
dia terus memandangi punggungku sampai menghilang di tikungan.
***
Tiga bulan kemudian, sebelum pulang ke
Manado aku dan rekan-rekan peserta penerima beasiswa dari daerah lain harus
tinggal seminggu di Jakarta. Program yang menghabiskan uang negara yang banyak itu harus dievaluasi. Aku maunya
itu ditiadakan saja. Berbargai alasan kubuat sendiri untuk membenarkan bahwa
argumentasiku bisa dibenarkan. Jadinya, selama seminggu itu aku tak fokus
sehingga aku tak sanggup menyusun laporanku. Supervisor memberikan teguran
pedas. Aku tak menunjukkan sedikitpun peduli. Sudah berani karena telah kembali
dari menikmati semua kegiatan dengan
gratis yang fasilitasnya mungkin nanti akan dirasakan oleh negara Indonesia
seratus tahun lagi. Setelah tiga bulan ponselku tak pernah aktif, kuputuskan
untuk mengeledah travel bagku untuk menemukan benda mungil itu. Sony ericson
mereknya. Kuisi listrik sebentar. Lalu aku mengirimkan sms ke nomornya Meysi.
Tak ada balasan. Laporan smsnya gagal. Kucoba telpon. Tapi tak ada sahutan.
Hanya suara mailbox yang beberapa kali mengingatkan bahwa nomor itu tak lagi
aktif. Bagaimana bisa?
Aku mengirim sms ke nomor lain. Nomor
temanku yang bernama Fredi. Dibalas. Dia bahkan memberikan nomor barunya Meysi.
Malamnya, aku mengirimkan Meysi sms. Dia menelponku. Tak puas dengan itu, kami
juga saling menelpon. Hari-hari selanjutnya juga begitu.
Tiga hari sebelum kepulanganku ke
Manado, tiba-tiba Meysi mengirimkan sms aneh. “Mang, jangan kirimi aku sms ya.
Jangan juga telpon aku. Aku saja yang sms atau telpon kamu. Janji ya. Aku cinta
kamu.” Karena tak ingin mengecewakan sang kekasih, aku melakukan seperti yang
dia minta.
***
Aku
tiba di bandara Sam Ratulangi sore. Kira-kira pukul empat. Aku langsung ke
Tomohon menaruh barang-barang. Semenjak pagi tak ada sms lagi yang Meysi kirim
untukku. Ingin sekali aku memberitahu kepulanganku. Tapi aku tak boleh
mengirimnya sms ataupun menelponnya.
“Sms
tak boleh. Telpon juga tak boleh. Ah, berarti miskol boleh. Aku miskol ah.”
Mungkin
Meysi akan marah juga dengan tindakanku ini. Namun, tentu kerinduannya bertemu
pasti lebih besar dari marahnya bila aku nekat miskol. Lagipula aku tak
melakukan serong. Justru ini adalah bukti bahwa aku sayang sama dia. Tiba-tiba
ponselku berteriak. Volume nada deringya diatur maksimal.
“Jangan
lagi ganggu Meysi. Dia sudah akan menikah. Aku Lee Kwan, pacarnya.”
Pasti
ini lelucon. Dia tentu akan membuat kejutan sebagai counter kejutanku. Dasar!
Ternyata Meysi juga orangnya suka menghidupkan suasana. Dia memang suka memberi
tantangan. Ku ketik.
“Oh
begitu. Aku teman sekampungnya. Aku hanya akan bicara sebentar berkenaan dengan
program organisasi pelajar kami.”
Harapanku
kata-kataku itu akan membuat permainan akan semakin mengasyikan. Kalau dia
hendak bercanda, baiklah. Aku juga bisa bercanda.
“Kamu
Kamang kan? Aku sudah tahu siapa kamu. Meysi sudah menceritakannya. Kamu tak
usah lagi menelpon dia. Kami akan segera menikah bulan depan. Tolong, pahami
dan maklumi.”
Mataku
tiba-tiba berhenti berfungsi. Aku hanya bisa melihat satu warna. Gelap. Tubuhku
memberat. Nafasku tersengal-sengal. Seperti mendaki puncak gunung Kalabat. Yang
ku baca barusan bukan lagi untuk kepentingan kejutan. Itu adalah keterusterangan
yang kejam. Itulah merupakan penyingkapan penghianatan. Sesuatu yang dalam
menghujam dan merobek hati tanpa ampun. Pukulan telak yang membuatku tak
sanggup lagi bangkit.
***
“Halo
Desi. Masih ingat aku? Tak tahu mengapa aku jadi kangen sama kamu.”
Sepenggal
sms telah melesat cepat masuk ke inbox ponsel seorang gadis lugu dan malu-malu.
“Hei…halo
kakakku yang ganteng. Sudah pulang ya? Tumben, mau mengirimi aku sms.”
Rasa
dendam kepada gadis bermata sipit itu tak tertahankan. Rasanya ingin menangis.
Namun, ihktiar itu kubuang jauh-jauh agar tak memperalukan bangsaku. Kaum
lelaki.
“Datanglah
ke tempatku. Boleh? Aku berbincang sebentar.”
Aku
sangat yakin gadis lugu itu tak akan menolak tawaran dari cowok idamannya.
Mereka adalah tipe gadis yang mau mengorbankan apa saja demi sang pujaan hati.
“Apa?
Masa aku yang kesana? Kakak dong yang kesini.”
Kalimat
itu hanyalah basa-basi. Kalimat itu sebenarnya berarti sebaliknya.
“Aku
masih capek. Mabuk perjalanan. Kalau kamu tak bisa. Aku tak memaksa. Selamat
malam. Hopefully, I could see you tomorrow.”
Serasa
mau pecah kepalaku. Tak sanggup aku menerima kenyataan dipermainkan oleh
kekasih yang aku anggap setia. Dia tak ada bedanya dengan leluhurnya yang suka
ingkar ketika berniaga dengan penduduk nusantara yang baru belajar berdagang.
Jendela kamar ku biarkan terbuka agar aku bisa melihat bintang gemintang di
langit. Aku melihatnya. Tapi semua menertawakanku. Tak sedikitpun
bintang-bintang itu berempati. Seoleh mereka mau mengajariku menerima hukum
romantika: bersiaplah untuk menderita jika hendak menyinta.
“Aku
akan kesana! Tunggu ya kakakku yang ganteng.”
Tersungging
senyuman di sudut bibirku. Tanda kemenangan. Aku mengejek diriku yang setengah.
Dia tampak bersedih setelah ditipu. Sementara diriku yang setengah terus
bersikap positif. Dia memang satu prinsip: Kalau satu pintu tertutup maka pintu
lainnya akan terbuka lebar. Untuk apa menangis ditingalkan seorang gadis,
sementara gadis lain tergila-gila menunggu untuk dinikmati.
“Aku
sudah di depan.”
Dengan
langkah kemenangan aku menuju depan rumah kosku. Menjemput gadis yang siap
berkorban apa saja untuk mendapatkanku. Gadis yang matipun rela asal mendapat
perhatian dan kasih sayang.
Aku
terkejut. Tak percaya apa yang kulihat. Gadis lugu yang kutunggu mengenakkan
kain penutup kepala. Bukan kain biasa. Dia mengenakkan kain untuk melindungi
kesucian. Kain yang kontras dengan keinginan liarku saat ini. Tapi, apa boleh
buat. Biarlah semua mengalir seperti air.
“Ayo…kita
duduk saja di sini. Kita duduki anak tangga itu sambil memandangi langit yang
penuh bintang. Bagaimana kabarmu. Kamu lain sekarang. Tiga bulan banyak merubah
lingkungan di sini. Termasuk kamu. Termasuk lainnya yang sebenarnya tak aku
inginkan berubah.”
Gadis
lugu hanya diam. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya di balik kerudung
putihnya. Kini dia menjadi pendiam. Berbeda dengan komunikasi via sms.
“Kamu
mau menjadi pacarku?”
Desi
tak bergerak. Kata-kata yang tak diharap tiba-tiba muncrat keluar dari mulut
gombal lelaki yang baru saja menjadi korban keberingasan gadis Tionghoa. Aku
tak membutuhkan jawaban. Kalimat itu sudah cukup menjadi tiket agar aku bisa
berbuat apa saja dengan dia. Demikian pikiran pongah liarku. Seiring malam semakin
dingin karena kian larut kurapatkan badanku ke tubuh Desi. Awalnya dia tampak
canggung. Apalagi aku berusaha menciumnya dengan membabibuta. Dia berusaha
menghindar. Saat bibirku melumat bibir miliknya, kami seperti tersengat
listrik. Bergantian tubuh kami saling menindih di atas lantai berubin putih.
Baru saja diajari tapi dia cepat menjadi mahir.
“Kakak
sudah biasa ya melakukan ini dengan gadis lain.”
Kesibukkanku
mengerayanginya tak sanggup dihentikan dengan kalimat itu. Malahan semakin
terpacu untuk mencapai puncak paling tinggi. Kami lepas kendali. Pertahanan
Desi bobol menjelang subuh.
***
Hari-hari
selanjutnya aku lewati tanpa Desi. Dia telah menjadi gadis di urutan di atas
sepuluh. Dia adalah gadis pertama yang
menerima proyek balas dendamku yang seharusnya tidak perlu. Sangatlah tidak
adil bila Desi dan gadis lainnya yang menjadi korban. Namun, nasi telah menjadi
bubur. Kini aku sudah dengan Windy. Gadis yang akan menjadi korban urutan ke
empat belas.
Yang
berbekas dari sekian banyak korban itu hanyalah Desi. Dia satu-satunya yang
masih suci yang sia-siakan. Kami putus di saat cinta-cintanya sedang bersemi
untuk pertama kali. Dia berharap kami menjalin cinta hingga ke pelaminan. Dia
telah merencanakan segala hal yang baik untuk kami. Termasuk acara HUTku.
Pernah sewaktu saya sakit, dia menjagaku berhari-hari. Dia berbuat laiknya
seorang istri yang rela mati demi suami. Hubungan kami berakhir saat umurnya
mencapai tiga hari. Sempat dia mengacam untuk bunuh diri ketika mendengar aku
tak mau lagi. Karena rasa cintanya yang sucilah, dia akhirnya merelakanku
menjauh darinya. Waktu itu aku begitu gagah. Tampan dan menjadi sasaran
kekaguman orang-orang. Kini, setelah lulus kuliah. Aku bukan lagi apa-apa. Pria
yang tak punya apa-apa yang tinggal di desa. Desi kini telah menjadi seorang
pramugari. Dia meraih apa yang selalu diimpikannya. Berulang-ulang dia
memberitahuku. Tapi aku tak sedikit memperhatikan. Setiap kali pesawat melewati
desaku, aku menunduk malu. Malu, jangan-jangan Desi sedang melihatku dari atas.
Malu karena aku kini lusuh. Setiap hari menyalahkan diri sendiri. Bagaimana aku
sudah begitu sangat dungu?
4.
Hadiah Pemerintah untuk
Pahlawan Tanpa tanda Jasa
Lonceng gereja pagi-pagi buta berbunyi
sebanyak tiga kali. Tak berapa lama kemudian corong-corong desa
berteriak-teriak bersahutan menganggu tidur warga. “Seseorang telah pergi,”
terdengar beberapa tukang gula aren berbicara saat melewati rumah kami menuju
ke tempat dimana sebagian besar waktu mereka habiskan. Istri dan anak mereka
tak pernah dilihat mereka saat siang. Mereka pun tak tahu sudah kelas berapa
anak lelaki mereka. Bahkan mereka lupa kapan hari ulang tahun perkawinan
mereka. “Untuk apa mengingat hal-hal yang remeh temeh seperti itu. Taklah perlu
kita merayakan hari-hari begitu. Dirayakan atau tidak toh umur akan terus
berkurang. Bukankah lama hidup kita telah ditentukan? Merayakan hari ulang
tahun adalah tradisi barat yang membuat kita tunduk pada logika dagang mereka.
Terlalu banyak hari-hari “special” diciptakan agar barang-barang bisa laku,”
begitulah kira-kira isi perasaan tukang gula aren itu.
Seseorang telah pergi. Ternyata salah
seorang terpandang di kampung kami telah meninggal dunia. Dia adalah mantan
guruku. Dia banyak mengajarku tentang moral dan hal baik dan buruk. Dia
senantiasa menekankan agar kami kelak menjadi orang yang baik. Berguna bagi
bangsa dan Negara.
***
Sebuah rumah panggung penuh hiasan
berwarna ungu dan hitam. Satu per satu orang berdatangan melihat seorang yang
telah terbujur kakuh. Orang-orang itu tak sedikitpun merasa kasihan dengan
tubuh wanita gempal yang telah ditinggalkan nyawa yang lama menahan tekanan.
Dia begitu menderita menjelang kematiannya. Tak ada kawan yang datang
menawarkan penghiburan dan penguatan. Semua telah bersatu memusuhinya. Padahal
dia banyak berjasa untuk kampung kami. Tidak sedikit jumlah anak-anak kampung
yang tadinya tak bisa menulis dan membaca menjadi tahu karena usaha kerasnya. Sungguh
sangat memprihatinkan bila orang justru datang mengutukinya di saat dia
seharusnya pendapat penghormatan yang selayaknya. Lagu ‘telah gugur pahlawan’
seyogianya membahana mengantarkan jenasah sang pahlawan tanpa jasa itu.
Aku terkejut melihat secara bergantian
orang masuk keluar mengangkat barang-barang yang ada dalam rumah. Orang-orang
yang tak punya hati itu berebut mencari barang yang paling mahal untuk dimuat
di mobil pick up yang telah diparkir di depan rumah duka. Semua mereka ambil.
Meja, kursi, wajan, belanga, piring, sendok, garbu, bahkan pakaian yang basah
yang masih bergelantung di tali jemuran tak luput. Nyaris tak ada yang tersisa.
Sungguh tak berperasaan. Orang yang dirundung duka dirampoki mereka pula.
Seorang ibu terlihat mengamati-amati
mayat. Dia baru saja tiba. Mungkin dicari-carinya apa lagi yang bisa dilepas.
Di sekitar mayat biasanya duduk beberapa kerabat atau keluarga. Tapi anehnya,
tak kulihat satupun. Aku mau berontak melihat ketidakadilan yang sementara
berlaku. Pemerintah desa tak seekor pun menunjukkan batang hidungnya dalam
rumah duka. Upacara pemakaman tampak belum disiapkan. Dimana aparat desa itu?
Keparat! Tega-teganya mereka berbuat seperti ini kepada pahlawan tanpa tanda
jasa. Beraninya mereka berbuat hal yang demikian rendah kepada guruku itu.
Bejat para pemerintah ini!
Kudekati mayat yang mulai berbau busuk
itu. Baju yang dia pakai saat masih hidup masih membalut di tubuhnya.
Sepertinya dia akan dilemparkan ke liang kubur tanpa dimandikan. Kalau saja aku
berhak dan layak, aku akan memandikan sang pahlawan tanpa jasa itu sendirian.
Kini aku duduk di samping mayat itu sambil mengusir lalat-lalat yang hinggap di
wajah.
Ku pandangi sekeliling ruangan.
Orang-orang yang datang itu tak sedikitpun berbelas kasihan terlukis dari raut
wajah mereka. Rupanya sasaran mereka adalah tempat dibaringkannya mayat itu.
Ranjang yang kelihatan sedikit mewah itu terus saja mereka lirik.
“Tidakkah kalian merasa hibah kepada
mayat ini? Kalian lihat wajahnya. Dia memelas meminta dikasihani. Kenapa kalian
mau menjadi bagian dari konspirasi jahat? Bila kalian tak mengurungkan niat
kalian ini lekaslah kalian akan didatangi malaikat penjemput maut,” ancamku.
Kata-kataku terbuang percuma. Mereka
menjawab dengan kebisuan dan mimik permusuhan. Gigi mereka gemeletuk menahan
geram. Dada mereka naik turun. Serasa mereka hendak menerkamku.
“Saudara-saudari kalian, tak layakkah
dia mendapat penghormatan terakhir? Biarkan aku menguburkan mayat ini dengan
patut. Hanya, jangan kalian telanjangi dia saat dia tak lagi punya rasa malu
sedikitpun. Izinkan aku menabur bunga di atas makamnya. Aku merasa berhutang
padanya. Dialah yang membangun generasi kita sehingga menjadi cerdas seperti
sekarang,” kataku seraya menitikkan air mata.
Orang-orang bejat itu mulai mendekati.
Mereka rupanya telah bersepakat. Ya ampun! Mereka akan menelanjangi pahlawan
tanpa tanda jasa. Aku berdiri dan merentangkan tangan. Aku akan berjuang
mati-matian agar tak satu pun tangan kotor mereka menyentuh tubuh guruku yang
kuanggap suci. Mereka semakin mendekat. Aku melemparkan tatapan menantang.
“Apa yang kau lakukan ingusan? Enyah
dari hadapan kami!” kata seorang ibu yang lengan bajunya telah disingsing.
“Aku tak akan membiarkan kalian
mempermalukan pahlawan tanpa tanda jasa! Langkahi dulu mayatku!” kataku nekat.
Masih tergiang ibu guruku itu berujang
tentang berani karena benar. Dia mengajarkan kami untuk membela yang lemah.
Inilah waktu yang tepat untuk mempraktikan sepenuhnya semua ajarannya 28 tahun
lalu.
“Menyingkir anak muda!” kata seorang
bapak. Dia tampak orang terhormat. Setelan yang dia pakai tampak dia orang
berduit.
“Tidak! Kalianlah yang harus
menyingkir,” jawabku sambil merentangkan tangan. Siap untuk menghalang.
Orang-orang mulai berkerumun. Namun tak
satupun yang membelaku. Mereka malah tampak jijik dengan sikapku yang menurut
mereka sangat ‘sok pahlawan’.
“Biarkan, anak muda! Biarkan dia
menerima setimpal dengan perbuatannya!” teriak salah seorang dari kerumunan.
Ini adalah penghakiman rupanya. Apa
yang telah dilakukan oleh guruku? Seburuk apakah itu sampai-sampai mereka
beringas begini. Bodoh! Apa peduliku dengan itu. Takkan aku biarkan mayat
guruku mereka permalukan. Pasti arwahnya takkan tenang. Setiap malam dia akan
datang menuntut tanggungjawabku sebagai seorang bekas muridnya. Aku pasti akan
dihantuinya siang malam.
“Kalau kamu tak beranjak anak muda,
kami tak bertanggungjawab lagi dengan nyawamu. Ini peringatan terakhir.”
“Tidak. Kalian tak berhak
menghakiminya. Biarkan Tuhan atau setidaknya…serahkan pada pemerintah desa.”
“Anak muda, penghakiman telah
diserahkan kepada kami. Kepala desa malah yang menyarankan. Nah, sekarang
menjauh dari situ!”
“Tidak!”
“Keras kepala!”
Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
Setelah itu aku tak tahu lagi. Terjadi jedah yang lama. Lalu, sayup-sayup aku
mendengar orang berdebat. Namun bunyi nging melengking tak putus-putus.
Suara bising makin menusuk pendengaran.
“Enak saja! Sofa ini harus aku yang
jadi pemiliknya. Ranjang ini juga. Dia paling banyak berhutang padaku. Dia
hanya berhutang dua juta padamu, kamu lima juta, kamu lima ratus ribu, kamu
sebelas juta. Sedangkan padaku dia berhutang brapa? Kalian mau tahu? Pertama,
sewaktu dia mau menyogok kepala dinas supaya dia menjadi kepala sekolah, dia
berhutang lima belas juta. Kedua, sewaktu anaknya mau kuliah di fakultas
kedokteran, dia berhutang tiga pulu juta. Ketiga, sewaktu anaknya mau dibaptis,
dia berhutang tiga juta. Sewaktu anak sulungnya mau menikah karena terlanjur
menghamili anak orang, dia berhutang 25 juta. Trus, sewaktu dia merayakan ulang
tahun, dia berhutang lagi satu juta. Jadi, hutangnya pada kalian tidak apa-apa
dibanding hutangnya padaku. Bukan hanya ranjang ini, rumah ini dan tanahnya
juga akan kusita. Itupun takkan setimpal dengan hutangnya. Aku juga belum
hitung bunganya,” kata seorang ibu sambil menangis sesenggukkan.
Awalnya mereka merasa merekalah yang
paling sial karena ditipu dengan kedok ‘pinjam’ oleh si mayat. Ternyata masih
ada orang yang lebih sial dari mereka.
“Kasihan, pasti berat bebannya
dikejar-kejar penagih hutang setiap hari,” kata seorang ibu.
Kepalaku sakit. Orang-orang terdengar
terus beradu mulut. Kudengar lagi, “Banjingan ini adalah pembohong besar.
Sampai di neraka pun dia akan akan terus berhutang. Dia menghambur-hamburkan
uangku, padahal dengan itu masih banyak yang bisa kubantu. Kasihan juga
sebenarnya. Semua ini gara-gara pemerintah. Coba kalau para PNS tidak diberikan
kemudahan menggadaikan gaji mereka, tentu nasib wanita ini akan lebih baik dari
ini.”
22/02/2012
***
5.
Kekuasaan Gereja
Pimpinan dan jemaat gereja di Jakarta
berunjuk rasa di depan kantor agama dan gubernur serta di DPR DKI Jakarta
kemarin. Mereka meminta perlindungan pemerintah. Menjamin hak-hak mereka untuk
beribadah. Pada hari jumat hingga hari minggu beberapa gereja diserang massa
yang terang-terang sudah dikenal. Organisasi itu sudah akan akan merayakan dies
natalis organisasinya ke 12 tahun ini. Sudah banyak tempat ibadah yang mereka
porak-porandakan. Tak hanya gereja yang diserang. Mesjid juga. Jemaah
Muhammadiah juga dibunuhi oleh mereka. Pemerintah tak berbuat hal nyata untuk
menjamin hak-hak warganya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Paling
banter hanya memberikan pernyataan “mengutuk” tak terkesan membiarkan. Padahal
organisasi itu sudah jelas-jelas meresahkan dan justru pernah mengeluarkan
ancaman untuk menurunkan presiden dari tampuk kekuasaannya. Sebegitukah pengecutnya pemerintah kita
sehingga mereka terus memelihara ular dalam rumahnya. Yang terancam tak
diperdulikan.
Di Koran juga kubaca pimpinan-pimpinan
agama di daerah kami mempublikasikan pernyataan mereka. Semuanya bernada sama:
mengutuk tindakan penyerangan terhadap gereja itu. Mereka juga menghendaki agar
pemerintah memberikan balasan setimpal kepada para pelakunya. Padahal
orang-orang yang diserang itu tak berniat sedikit mengutuki dan membalas
mereka. Mereka hanya meminta pemerintah agar mereka diberikan kenyamanan dan
ketentraman sebagai warga negara. Para pemimpin agama di daerahku bahkan
berlebihan dengan penunjukkan rasa simpati mereka. Rasa simpati yang sebenarnya
dibungkus oleh keinginan untuk tampil sebagai pahlawan. Berharap agar
masyarakat bahkan dunia melihat bahwa mereka peduli dan menginginkan agar
kemajemukan harus senantiasa dijaga. Mereka meneriakkan penjaminan hak-hak
setiap orang beribadah dan berkeyakinan. Mereka menyumpahi para Islam garis
keras yang memboikot rumah-rumah ibadah yang hendak dibangun. Tanpa tahu duduk
persoalannya.
***
Seperti biasa, setiap hari minggu saya
ke gereja. Demikian juga hari ini. Batin saya yang sumpek di enam hari boleh
terasa sejuk setiap kali saya melangkahkan kaki rumah Tuhan. Alunan musik yang
ciptakan pada abad 13 dimainkan begitu sempurna. Seketika itu kurasakan suasana
surga melingkupiku. Senyum dan tawa mengembang pada semua orang berdatangan.
Kami saling berjabat tangan. Begitu sejuk suasana terasa.
“Pertolongan kepada kita adalah dalam
nama Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi, yang tetap setia untuk
selama-lamanya dan tidak meninggalkan perbuatan tangaNya. Kasih karunia dan
damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai
saudara-saudara,” ucapan khadim di atas mimbar menambah kesejukkan dalam
batinku. Bagaikan titik embun pagi hari. Seumpama pohon-pohon perteduhan di
saat mentari menyengat sepanjang hari.
“Amin,” balas kami.
Bila suasana ini mampu membuat batinku
tenang aku rela tinggal lama dalam gedung ini. Akan kujual seluruh hartaku
untuk para pendeta dan pelayan Tuhan. Akan kubaktikan hidup ini untuk gereja.
“Saudara-saudara sekalian, mari kita persiapan hati kita untuk mendengarkan
suara Tuhan…” ini yang paling kutunggu. Disinilah pesan-pesan indah tentang
kedamaian diungkapkan. Di waktu inilah Tuhan menjelma membagikan
percikan-percikan keadaan surgawi. Seperti mana surgawi dilimpahkan kepada
bangsa Israel kita mereka ditempah di
gurun dalam perjalanan ke tanah Kanaan.
“Kita sebagai cepat harus saling
memperhatikan. Saling mengunjungi di saat sakit, saling mengingatkan bila ada
yang mulai menyimpang dari jalan Tuhan. Didiklah anak-anak kita agar menjadi
taat pada agama dan gereja. Didiklah mereka agar selalu dekat dengan Tuhan…Mari
taburkan damai ke sekeliling kita……tapi kita juga seharusnya waspada. Jangan,
besok-besok anak-anak kita dulu bernama Maria lalu menjadi Siti Mariam, Yohanes
menjadi Ibrahim, Sarah menjadi Siti Hajar, Ishak menjadi Ismail, Imanuel lalu
berubah menjadi Muhammad. Jangan! Jangan saudara sekalian. Jangan berikan
kesempatan. Awalnya mereka datang dengan senyum, ada yang pura-pura jual bakso, mie ayam, jamu,
sayur, tahu. Kemudian lama kelamaan mereka akan membeli rumah di kampung kita.
Mereka akan tinggal. Seiring waktu mereka mengundang keluarga mereka dari Jawa
sehingga mereka dapat mendirikan mesjid.”
Aku terhenyak dengan khotbah pendeta.
Awalya dia berbicara tentang kedamaian. Selanjutnya dia menaruh rasa curiga
pada jemaat agar mewaspadai orang yang datang. Dia juga menyebutkan cara-cara
penyebaran agama Islam yang bakal terjadi di kampung kami. Bukankah begitu juga
cara Riedel dan swharz sewaktu mereka membawa agama Kristen ke tanah Minahasa?
Dia menyebutkan deretan nama seperti
Siti Mariam, Ibrahim, Siti Hajar, Ismail dan Muhammad seolah-olah mereka adalah
sosok yang menebarkan permusuhan ke dunia. Seolah-olah mereka adalah orang
jahat yang juga dibenci oleh Tuhan. Siti Mariam, bukankah dia itu nama dari ibu
Isa (Yesus) dalam bahasa Arab? Ibrahim apalagi. Bukankah itu nama Arab dari
bapa semua orang beriman, Abraham. Hajar dan Ismail bukankah Allah memberkati
mereka juga. Muhammad, bukankah dia mengajarkan kepada pengikutnya agar tak
memusuhi orang Kristen? Bukankah dia sangat menghormati orang Kristen karena
pamannya (beragama Kristen) juga yang menikahkan dia dengan istrinya?
Kenapa tega-teganya pemuka agama
mengajarkan umatnya untuk membenci umat lain. Para pemuka menampakkan kerukunan
dalam lembaga tetapi ketika mereka pulang ke asal mereka masing-masing, mereka
menebarkan benih permusuhan. Pantas saja kita terus berkelahi.
Saat ibadah selesai aku pulang tanpa
menyalami sang pengkhotbah. Senyumku hilang seiring benih-benih perpecahan
ditabur di dalam gereja.
***
“Selamat sore,” terdengar suara dan
ketukan pada pintu. Dari balik jendela aku melihat tiga sampai lima orang. Aku
kenal mereka. Setiap hari minggu aku selalu melihat mereka, dengan stola putih
berbordir ∆ dan Ω, duduk wibawa rohani yang ternyata dibuat-buat. Kulihat sang
pengkhotbah juga berdiri di depan pintu.
“Selamat sore,” sahutku setelah membuka
pintu, “Ada ya?”
“Begini, kami hendak bertemu dengan
bapak.”
“Bapak? Oh ada. Dia di belakang sedang
memberi makan bebek dan ayam. Aku panggil ya…”
“Kami datang untuk bertemu anda,” kata
bapak yang sudah beruban, memotong pembicaraanku.
“Maksud bapak, mau ketemu saya? Oh
silahkan duduk.”
Lima orang ini tampak enggan untuk
berbicara. Senyuman mereka terkesan hanya dibuat-buat. Tak berapa lama ayah dan
ibu muncul dan langsung menyalami pendeta dan rekan-rekannya. Ayah dan tampak
respek sekali pada pendeta. Bahkan kelihatan malu bercampur takut. Seperti Adam
dan Hawa yang malu setelah ketahuan oleh Tuhan karena telah menelan “buah
pengetahuan buruk dan baik” yang disuguhkan oleh si ular.
Setelah
didahului doa yang panjang, sang pendeta mulai bertutur:
“Kedatangan kami kesini untuk melihat
jangan-jangan saudara sedang sakit. Soalnya sudah dua bulan tidak pernah kami
lihat di gereja. Biasanya bapak yang paling rajin.”
Oh ternyata ini toh maksud kedatangan
mereka. Bukan yang sakit. Sebenarnya merekalah yang sakit. Mereka seharusnya
mengunjungi dan mengembalakan jiwa mereka yang digerogoti oleh rupa-rupa
penyakit, terutama penyakit curiga dan antikris. Kalau mereka tidak menjalankan
anjuran dan ajaran Kristus, tak keliru kalau aku menyegel mereka sebagai
antikris.
“Memang sudah lama saya mau bicara
dengan bapak dan ibu sekalian. Sudah lama saya aktif dalam gereja. Sudah lama
juga saya mempelajari gereja dan agama. Dan inilah saatnya saya mau bicara,
kebutulan bapak dan ibu sekalian adalah wakil gereja. Sebetulnya saya telah
memutuskan membacakan surat pernyataan saya di gereja, namun mungkin itu tak
akan baik akibat yang akan ditimbulkannya. Tapi, mumpung bapak dan ibu sekalian
sudah datang, saya akan mengatakannya sekarang.”
Terlukis keheranan pada raut wajah
setiap orang yang datang itu. Namun, aku tak tahu pasti bilakah mereka sudah
mengerti isi hatiku. Kulihat pendeta menelan ludah. Seorang wanita memperbaiki
duduknya. Seorang bapak mengatupkan mulut dengan kencang. Yang lainnya menatap
lantai.
“Katakan saja pak. Kami siap menerima
keluhan dari jemaat. Sudah tugas kami sebagai penatua dan syamas, pelayanan
khusus, untuk mendengar suara jemaatnya. Itulah yang diajarkan Kristus,” kata
pendeta memecah keheningan.
“Saya sudah memutuskan untuk tidak akan
bergereja lagi,” mendadak semua kepala pendengar terangkat, mencari kepastian
yang barusan mereka dengar, “Saya bahkan sudah tak ingin beragama lagi. Buat
saya agama hanyalah jembatan untuk dekat dengan sang pencipta. Gereja sekarang kini
adalah jembatan yang rapuh. Dan, menurutku, agama bukanlah satu-satunya
jembatan untuk dekat dengan Tuhan. Sudah puluhan tahun saya bergereja. Sudah
puluhan tahun saya mempelajari sejarah gereja. Yang kutemukan hanya kegagalan
gereja. Kalaupun ada keberhasilanya, hal itu pun bisa dilakukan tanpa harus
bergereja. Lagipula, Yesus datang kedunia tidak membawa agama. Dia membawa
damai. Bukan menganjurkan membentuk organisasi besar dunia yang berkuasa dan
mengatur untuk kepentingan golongan penguasa. Pimpinan gereja mengira bahwa
mendirikan organisasi gereja yang besar sama dengan membangun kerajaan Allah.
Pemuka agama kita telah salah memaknai kerajaan Allah yang Yesus pernah
ucapkan. Gereja bukanlah kekuasaan, melainkan pelayanan. Pelayanan adalah
pelayanan. Bukan kekuasaan. Karena kekuasaan adalah kekuasaan.”
- ∆ dan Ω berarti alfa dan omega.
Simbol itu melambangkan Yesus Kristus sang pembawa damai.
- Penulis adalah guru bahasa Inggris di
SMP Kristen Tondei. Juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia di
Sulawesi Utara.
6.
Mencari Anak
Raungan sepeda motor tiba-tiba mendekat
dan berhenti di halaman rumah kami. Tak biasanya kakakku datang ke rumah di
sore hari begini. Tambah lagi ini hari Jumat. Bukan hari minggu. Yang anehnya
juga adalah dia, suaminya dan kedua anaknya tak semuanya. Jarang-jarang mereka
datang lengkap begini. Biasanya itu hanya terjadi pada hari-hari besar.
Pengucapan, Natal dan Tahun Baru.
Kedatangan merekapun seperti membawa beban dari rumah mereka. Kalaupun mereka
lagi kekurangan makanan di rumah, tanpa basa-basi, mereka langsung membuka
penutup saji dan melahap apa yang ada. Tapi, saat itu tidak.
Namun, seperti biasa, kami yang di
rumah semuanya berkumpul di ruang tamu. Itulah cara kami jika kerabat dekat
datang berkunjung. Cerita mereka selalu ingin kami dengar. Menyadari kehadiran
mereka, aku langsung menghentikan pekerjaanku di kamar dan menyapa mereka satu
per satu. Dan benar, memang ada yang aneh. Lingkanwene, kakak perempuanku,
hanya memberikan senyum tawar ketika kami bersalaman.
“Ibu, sebenarnya siapa ayahku? Berapa
sebetulnya ayahku?” semua anggota terkesima begitu dua kalimat itu meluncur
keluar dari mulut kakakku. Senyuman ramah kami berganti dengan keheranan.
Apalagi ibu.
“Kamu sedang bicara apa, Lingkanwene?”
kata ibu menimpali, “Tentu saja ayahmu si Manuel yang telah meninggal sewaktu
kau masih berumur sebelas tahun. Dan tentu saja ayahmu cuma satu. Kamu pikir
ibu ini wanita apaan di masa dulu?”
Mata ibu berlinang. Tak sanggup dia
menahan sakit hati karena tiba-tiba dituduh sebagai perempuan yang tak benar
oleh anaknya sendiri. Tak pernah dia membayangkan anaknya sendiri yang didik
dengan kasih sayang yang luar biasa menuduhnya seorang perempuan sundal. Tak
pernah dia sangka anaknya akan menyamakan dia dengan dengan perempuan-perempuan
Minahasa lain yang pergi menjual diri ke Kalimanta, Papua, Jawa dan Sumatra
hanya karena ingin di pandang sebagai orang berada di desa.
“Lingkan tak bermaksud begitu, bu. Lingkan
yang terpukul karena semalam seseorang datang mengaku sebagai ayahku. Dia
meminta maaf padaku karena katanya telah meninggalkan aku dan ibu dulu.”
Kulihat ibu menegakkan badan. Kemudian
mengusap air mata yang nyaris mengeras di wajahnya.
“Kenapa kau tak suruh dia kemari dan
bertemu ibu?” kata ibu dengan tatapan serius.
“Aku sendiri memang tidak yakin bu.
Bapak itu mengaku sudah berumur 48 tahun. Sedangkan aku sudah berumur 35 tahun.
Tapi anehnya dia sudah memperlakukan aku seperti anak sendiri. Semalam dia
memberikan Andi dan Lumi seratus seribu per orang. Dia tak tanggung-tanggung
memberikanku 500 ribu. Dia juga sudah janjikan kepada saya dan Roni untuk
membawakan pasir, sirtu serta batu untuk melanjutkan pembangunan rumah kami.
Jadi, saya berpikir, kalau dia tidak yakin aku anaknya, mana dia mau berkorban
sebegitu besarnya. Ibu, maafkan aku, bila yang masih ibu simpan, katakana
padaku. Aku takkan marah pada ibu. Aku janji.”
“Nak, tak ada yang ibu sembunyikan.
Dari kecil ibu senantiasa mengajarkan anak-anak ibu untuk selalu jujur. Karena
ibu ingin kalian juga menjadi orang jujur,” tutur ibu dengan kepala tertunduk.
Dia sangat sedih tak dipercaya oleh anaknya, “Nak, kalau ada orang yang datang
mengakui kamu adalah anaknya, mungkin dia salah orang. Atau bisa saja itu hanya
kedok untuk sesuatu maksud yang lain.
***
Karena penasaran ibu jadi sering duduk
di depan rumah untuk melihat secara langsung supir alat berat yang datang
mengaku-aku sebagai ayah Lingkanwene. Dia memperhatikan dengan teliti tampang supir yang sudah
sebulan bekerja dalam proyek penanganan bencana longsong di desa kami. Tidak
puas dengan dari jarak jauh, hari berikutnya dia mendekati jalan untuk melihat
lelaki itu dari dekat. Tidak ada tanda setitik pun yang bisa membuat ibu kenal
dengan lelaki bertubuh besar itu.
Roni, suami Lingkan, dan kedua anaknya
kini sudah dekat bahkan akrab dengan lelaki itu. Lingkanpun sering menerimanya
di rumahnya. Bahkan memperlakukannya laiknya seorang ayah. Pekarangan rumah
Lingkan dan Roni telah ada dipenuhi gundukan material bangunan rumah. Kedua
anaknya menjadi manja dan mendadak kaya. Makanan ringan yang dapat menyebabkan
berbagai macam penyakit dikonsumsi mereka setiap hari. Mereka tidak lagi mau
disuguhi pisang rebus dan singkong goreng yang diberikan kakek dan nenek mereka.
Kini ibu sakit. Tertekan oleh sikap
anak dan cucu-cucunya. Kemarin, bahkan Lingkan meriaki ibunya dengan kata-kata
kotor ketika ibu datang ke rumahnya agar tak mempercayai lelaki yang tiba-tiba
datang itu.
***
Aku dan ayah terkejut setelah mendapati
banyak orang sedang berbicang-bincang di rumah kami. Seberkas kayu bakar dan
berbagai jenis sayuran kami turunkan dari gerobak. Sejenak ayah berlalu membawa
sepasang lembu ke belangkang rumah untuk memberi mereka makan. Aku langsung
menuju dapur dan mengatur kayu bakar di atas dodika. Tampak diatasnya
nasi sudah matang. Satu per satu kayu yang menyalah aku keluarkan.
Sudah itu aku menuju ruang tamu.
Ayahpun datang tak lama kemudian. Keringat masih bercucuran. Badan belum bisa
disiram dengan air. Bisa-bisa kami sakit, jika kami bersikeras melakukannya.
Aku dan ayah ikut bergabung dengan para tamu. Semua tamu itu kukenal. Kecuali
seorang lelaki yang duduk di antara Roni dan Lingkan.
Terdengar ibu berkata, “Kenal dengan
Meity?” Si lelaki yang tak aku kenal
mengangguk, “Kalau begitu, anak yang bapak cari ada di Manado. Bapak sedang
mencari anak kan? Anak bapak sedang bekerja di sebuah tokoh swalayan terbesar.
Anaknya cantik. Mirip bapak. Dia juga punya tahi lalat yang ditumbuhi rambut
seperti bapak.”
“Oh kalau dia yang bapak cari, berarti
apa yang ibu bilang itu sudah benar. Memang, Meity pernah mengaku kepada kami
bahwa bapak dari putrinya yang bernama Mery berasal dari Boyong. Memang, ibu
mertua namanya Srity. Hanya dipanggil dengan Ti. Wajar kalau bapak mengira
istri saya itu anak bapak. Memang ibu istri saya adalah saudara kandung dari
Meity.”
Si lelaki melempar mukanya ke sisi
lain. Tak jelas apa maknanya. Tampak dia mau menangis.
“Besok saja kita bicara. Kalau sekarang,
aku menangis,” selah si lelaki yang tak ku kenal itu. Suasana jadi menggantung.
Padahal kami berharap semuanya akan menjadi terang malam ini.
***
Malam itu berakhir dengan tanda tanya.
Tapi, aku yakin bahwa ibulah yang benar. Hanya Lingkan yang terus ngotot bahwa
dia percaya dengan perkataan si lelaki yang tak kukenal itu.
Si lelaki itu pulang tanpa permisi.
Roni mengantarnya dengan sepeda motor ke Ongkau. Katanya dia harus pulang ke
Poigar. Keluarga dari istrinya ada yang meninggal.
Dalam perjalanan si lelaki itu
meyakinkan Roni bahwa ibuku telah berbohong. “Harus tes darah. Dengan begitu
akan ketahuan yang sebenarnya, ” katanya. Roni dalam sekejab menjadi percaya
kembali pada si lelaki tak aku kenal itu. Dia kini merasa jijik dengan mertuanya.
Lingkan tambah yakin setelah Roni
memberitahu perihal itu. Kenyamanan yang mereka rasakan seakan menjadi bukti
tambahan mereka harus percaya pada orang asing itu. Tambah lagi, si Roni sering
sakit-sakitan. Dia jadi jarang bekerja. Roni yang menjadi tumpuan keluarga tak
bisa berbuat banyak. Hidup mereka terselamatkan dengan kemunculuan lelaki yang
tak aku kenal itu.
***
Dua minggu kemudian terdengar kehebohan
di kampung kami. Roni mengobrak-abrik rumahnya. Lingkan sudah beberapa hari tak
pulang rumah setelah diajak oleh si lelaki tak aku kenal itu pergi rumah sakit.
Untuk tes darah. Begitu alasan yang diberikan si lelaki yang tak ku kenal itu
kepada Roni. Ponsel Lingkan dan si lelaki itu tak aktif kedua-duanya.
Selesai
* Dodika (bah.
Manado): tungku
7.
Pemuda Malas
Seorang pemuda diminta oleh seorang ibu
untuk memanjat pohon rambutan dan memetiknya karena mereka ingin sekali
menikmati buah rambutan yang kulitnya tampak merah dan menarik hati itu.
“Ah buah itu asam,” kata pemuda itu
sambil berlalu meninggal para ibu yang ingin sekali makan buah rambutan.
Melihat penolakkan halus itu ibu geram.
Merekapun berembuk dan akhirnya memberanikan diri untuk memetik buah-buah itu
sendiri. Dengan susah payah dua orang perempuan bergelayutan di atas pohon
meraih setiap buah yang agak jauh dari batang.
Setelah selesai mendapatkan sesosiru,
mulailah mereka menikmati beramai-ramai. Terdapat anak-anak juga. Muncullah
pemuda tadi dengan tiba-tiba. Tanpa ditawari dia mulai memakan buahnya satu per
satu dengan rakusnya. Para perempuan yang masih di atas pohon kaget dengan
kejadian itu.
“Hey…sialan kamu! Tadi kamu bilang
asam. Sekarang kami makan laiknya binatang kelaparan,” teriak perempuan yang
berbadan gempal.
Si pemuda malas itu cuek. Dia tak
menghentikan walaupun ditegur. Perempuan itu pun berteriak lagi dengan kasar
penuh makian. Si pemalas akhirnya bereaksi.
“Ok…tinggal sepuluh yang akan aku
makan. Satu…,” katanya sambil menghitung dan terus makan, “ dua……..…tiga…..….empat……….”
Perempuan gempal yang masih di atas
pohon itu naik darah kemudian turun mengejar si pemuda malas dengan
beringasnya.
8.
Sende’u Kiaba
Ada seorang pemuda bernama Pret Sual.
Dia terkenal sebagai seorang lucu dan rajin berdagang. Cakupan kegiatan
dagangnya sampai ke tanah Bolaang Mongondow. Dimana-mana dia pergi kelakar dan
kelucuannya selalu ikutserta. Perawakannya yang kecil serta kulitnya yang agak
gelap menyamarkan keasliannya sebagai orang Minahasa. Jadi, ketika dia
mengaku-ngaku sebagai orang dari satu tempat dan dengan nama tertentu orangpun
percaya. Mereka takkan menyangka bahwa dia sebetulnya orang Minahasa. Dia
pernah menyamar dengan nama Sende’u Kiaba. Temannya yang menemaninya pergi
berdagang ke segala penjuru menyaksikan hal itu. Dia selalu saja hampir dibuat
mampus oleh kejenakaan Pret. Maka, diapun dia dipanggil Sende’u Kiaba sampai
ketika dia pulang ke kampungnya. Temannya itu yang mempopulerkan nama itu.
Ketika batibo gula sudah tidak cukup
memberikan penghasilan bagi Pret, dia memutuskan untuk berganti profesi. Karena
bertepatan lagi musim pemetikan cengkeh dia memutuskan untuk menjadi pemetik
cengkeh. Suatu pagi dia berteriak historis di tengah perkebunan. Para pemetik
cengkih yang lain kaget dan keheranan.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Pret.
Awalnya para pemetik hanya mengacuhkan
saja. Sebab mereka tahu bahwa itu suara Pret. Dan mereka selalu percaya Pret
akan berbuat usil.
“Tolong saya! Tolong saya! Tolong!!”
teriak Pret semakin melengking.
Prêt berseru sangat keras namun lama
kelamaan dia teriakkannya semakin melemah. Para pemetik yang tengah sibuk
memetik demi mencapai target memetik seratus liter. Mereka memikirkan bonus
yang diberikan oleh majikan. Bonus yang tak tanggung-tanggung akan sangat
membuat mereka gembira dan senang bukan kepalang. Satu kerat botol bir dan
beberapa bungkus rokok.
“Tolong!” teriakkan terakhir sangat
mencurigakan.
Para pemetik lain di sekitar menunggu
teriakkan lain tapi tak ada. Mereka berpikir dan merenung sejenak. Tak sampak
lima detik semua pemetik yang berada di lalako teratas tangga bergegas
turun. Seolah tak peduli mereka akan terjatuh. Semua teman-teman pemetik Pret akhirnya punya pikiran yang sama tentang
Pret. “Pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada Pret. Kali ini pasti dia
sungguh-sungguh minta tolong.”
Merekapun berlari seperti dikejar-kejar
hantu menyusuri bidang tanah yang miring. Mereka terpelanting-pelantung karena
lebatnya rerumputan. Semua panik tak menentu. Pret tergeletak tak berdaya di
samping tangga yang juga tergeletak. Mereka kebingungan mencari-cari tahu
keadaan Pret. Pelan-pelan Pret bergerak. Seolah baru tersadar dari pingsan.
“Tolong kitia. Tolong se badiri akang
kitia pe tangga. Dari tadi kita mo sandar ini cingkeh mar berat skali. Nda mo
ta angka. Ne, blum ada kita da pete,” kata Pret nyaris tertawa.
Teman-temannya yang tadinya mengira
bahwa Pret kecelakaan, akhirnya terpaksa membantu Pret dengan berat hati.
9.
Tak Tahan Aku Jauh Darimu
“Lan,
besok…mungkin aku sudah di Manado. Lamaranku diterima. Mulai besok aku sudah
harus bekerja. Kamu tidak marah kan kalau untuk sementara kita harus berjauhan?
Aku harus kerja. Menganggur itu tak baik. Aku tak mau jadi beban orangtuaku.
Kamu tahu kan kalau sekarang aku sudah jadi seorang sarjana?” kata Felix pada
pacarnya dengan perasaan senang bercampur sedih.
Wulandari
sedikitpun tak bersuara. Dia hanya diam sambil menatap wajah sang kekasih yang
menyandarkan kepalanya di pangkuannya.
“ Aku janji
akan mencari pekerjaan yang lebih baik dan tak jauh dari kota ini nanti. Aku
juga tak ingin jauh darimu. Aku menyayangimu Wulan. Percayalah.
Tapi…kepergianku besok belum pasti kok. Soalnya aku belum dapat uang untuk membiayai
hidupku selama satu bulan ke depan sebelum ganjinya kuterima.”
Mendengar
perkataan Feliks, mata Wulandari mulai berkedip pertanda bahwa dia bisa tenang
untuk sementara. Wajahnya mulai berseri dan melemparkan senyuman kepada Felix
dan ke seluruh sudut kamar kos, tempat Felix tinggal.
Menyadari hal
itu, Felixpun memberi kecupan ke dahi dan bibir mulan beberapa kali.
***
Setelah
berusaha keras meminjam uang, namun gagal,
dari beberapa teman, akhirnya Feliks menyerah. Tak satupun temannya yang
bisa dia pinjami uang. Maklum sekarang akhir bulan. Felixpun berkata dalam
hatinya “Mungkin belum waktunya aku jauh dari Wulan.”
Meskipun
demikian, Felix pulang ke kosnya dengan perasaan puas karena usaha keras sudah
dilaksanakan. Saat gembok kamar baru saja dilepaskannya, telpon berbunyi.
“Halo, kenapa Lan?”, tanya Felix dengan suara lembut dan wajah yang senyum.
“Fel, aku bukannya tak mau kau bekerja.
Bukannya aku menghalangimu supaya tidak membebani orang tuamu, tapi….sangat
sulit kalau aku harus jauh dari kamu. Aku sudah mencoba mengerti dan bersikap
biasa-biasa saja. tapi waktu teringat kamu tadi…aku pikir...aku harus
memberitahu perasaanku yang sesungguhnya,” ungkap Wulandari dengan nada
mengeluh dan memohon.
“Lan, kamu tak
usah kuatir. Besok aku batal meninggalkan Tondano. Tak satupun yang
meminjamkanku uang. Mungkin Tuhan sengaja membiarkan ini terjadi karena kita
berdua sama-sama belum siap dengan perpisahan ini…walaupun hanya sementara,”
kata Felix santai sambil memandangi potret kekasihnya yang ditaruh di atas meja
belajarnya.
“Lho..benar
nih? Aduh thanks God. Tapi bukan karena aku yang memaksa kamu kan?”, dengan
senang Wulan langsung bertanya lagi.
Setelah
percakapan lewat telepon itu, Felixpun menelpon ke Manado untuk memberitahukan
bahwa dia belum bisa bekerja di sana karena terganjal oleh masalah keuangan.
Pihak yang akan mempekerjakannyapun mengiyakan dan meminta supaya bisa mulai
bekerja bulan berikutnya setelah perayaan Natal dan Tahun baru selesai.
Waktu berlalu
begitu cepat. Felix dan Wulandari semakin lengket dan mesra. Mereka sudah
saling janji untuk sehidup semati walaupun belum memutuskan untuk menikah
secepatnya. Mereka sepakat pernikahan dilangsungkan 4 sampai 5 tahun lagi
setelah Wulandari menyelesaikan kuliahnya di Universitas Negeri Manado.
***
Felix merayakan
Natal di kampungnya bersama keluarga. Sedangkan Wulandari di Tondano bersama
Opa dan Omanya. Juga adiknya. Mereka tak cukup bahagia karena jarak memisahkan
mereka.
***
Pada perayaan
tahun baru mereka sepakat untuk bersama-sama. Mereka pergi ke gereja bersama
dan saling bertukar foto, surat dan kartu ucapan tentang harapan-harapan mereka
berdua di tahun baru untuk hubungan spesial mereka. Cahaya-cahaya lampu di saat
Natal dan Tahun baru terus melekat pada dalam benak sepasang kekasih ini.
Mereka sangat bahagia karena mereka sudah berpacaran hampir mencapai 4 bulan.
***
Tepat pada
tanggal 9 Januari 2006 Felix ditelpon oleh orang yang bakal menjadi bosnya
supaya segera masuk kerja. Hari itu juga, setelah pamit pada Wulandari, dia
berangkat menuju ke Manado. Selama perjalanan mereka saling mengirim sms untuk
saling mengingatkan masing-masing supaya menjaga diri dan setia menjaga
hubungan. Felix senang dengan pekerjaannya sebagai pengajar di lembaga
pendidikan keterampilan yang bernama Max’s Learning Center-sebuah lembaga yang
dimiliki oleh sepasang suami istri berdarah Kanada dan Tionghoa. Dia sudah
senang dengan pekerjaan sejenis itu saat masih kuliah di Universitas Negeri
Manado. Namun tetap saja harinya selalu gunda saat dia sendiri dan memikirkan
Wulandari yang kini jauh dari pandangannya. Serasa baru sebentar dia membelai
rambut, mencium bibir, dan memeluk tubuh Wulandari.
Perasaan
cemburu yang berlebihan kadang muncul. Saat dia membayangkan kekasihnya yang
cantik itu kalau-kalau didekati lelaki lain dan tergoda sampai menyukai mereka.
Sekarang Felix
selalu menelpon Wulandari. Sebelumnya mereka hanya mengandalkan sms untuk
saling bertanya kabar. Namun semua kini kadang-kadang pesan pendek melului HP
tak cukup untuk mengobati rindu.
Sekali seminggu
Felix pergi menjenguk Wulandari di Tondano untuk melepas rindu. Kamar kospun
menjadi saksi perbuatan mereka yang mulai menanjak ke tahap kemesuman. Waktu
yang hanya sehari pada akhir pekan membuat mereka berusaha sedapat mungkin
menggunakannya dengan sebaik mungkin.
***
Tak jarang juga
jarak yang memisahkan mereka menjadi sebab kesalahpahaman sulit diatasi.
Komunikasi sulit terjalin dengan baik. Saat mereka sedang bertengkar perasaan
marah dan kesal terasa sulit ditepis dan diatasi. Kadang-kadang terbesit kata
dalam pikiran masing-masing untuk segera mengakhiri hubungan.
Wulan
hampir-hampir mau menyerah. Apalagi banyak teman laki-lakinya di kampus yang
perhatian dan selalu siap membantunya kapanpun dia membutuhkan.
Rasanya
godaan-godaan itu mulai mempengaruhinya. Ada beberapa cowok yang sudah
mengungkapkan isi hati mereka, katanya. Karena konflik antara dia dan Felix,
Wulandari sengaja enggan menolak keinginan cowok-cowok itu. Sekedar untuk
menyenangkan perasaan. Tapi sebenarnya itu tak akan disukai oleh Felix. Jika
sampai diketahuinya. Wulandari menyembunyikan itu dari Felix. Namun Wulandari
juga tidak berani menerima cinta mereka. Dia hanya bimbang dan bingung.
Seakan-akan memberi harapan pada cowok-cowok itu.
Felixpun tak
jarang nyaris tergoda oleh rayuan dari teman-teman sekerjanya. Dia sering
diajak ke tempat-tempat tertentu yang senantiasa memberi peluang-peluang untuk
menyeleweng.
Kadang-kadang
dia juga teringat wajah-wajah elok pacar-pacarnya sebelumnya yang perhatian dan
tak banyak menuntut darinya.
Kalau mau
jujur, Felixpun merasa bahwa Wulandari adalah tipe cewek yang suka menuntut dan
suka memaksa. Felix kadang berpikir tentang sifat kekanak-kanakan dan egois
dari Wulandari.
Ada suatu saat,
ketika Felix hendak berangkat ke tempat dia bekerja, dia berpapasan dengan
seorang gadis. Mantan kekasihnya.
“ Hei...kamu
Felix kan? Aku tidak menyangka bisa bertemu kamu lagi. Apa kabarmu, Fel?,”
tanya Aurilia dengan sedikit menggoda.
“ Aurilia..!
Iya aku Felix. Aku juga tak menyangka bisa bertemu kamu di sini. Kabarku baik,”
jawab Felix sekedar basa-basi.
Dia teringat
dengan Wulandari yang mungkin akan marah kalau mengetahui pertemuan ini.
Padahal tidak disengaja.
Dia tak ingin
nanti Wulandari terluka karena menyempatkan diri untuk bertanya kabar satu sama
lain dengan gadis bertubuh seksi dan berkulit putih ini. Felix juga tak ingin
Wulandari melakukan hal yang sama. Itu sama dengan penghianatan!
Tanpa banyak
berkata-kata Felix melangkahkan kaki ke arah yang berlawanan dengan Aurilia.
Felix teringat janjinya pada Wulan untuk tak akan berhubungan lagi dengan
orang-orang yang pernah dekat dengannya. Ingatpun tak boleh. Apalagi
berbincang-bincang dengan mereka.
***
Banyak juga
bekas pacar Felix yang sering menghubunginya lewat telepon. Dalam keadaan yang
sedang bertengkar dengan Wulan, Felix bergulat dengan susah payahnya untuk
menyelamatkan hubungannya dengan Wulan. Meskipun sulit!
Felix
memutuskan untuk menghapus semua nomor telepon mantan-mantan pacarnya dan gadis
yang pernah atau sementara berusaha mendekatinya.
Wulandari yang
sempat sering berhubungan telpon dengan cowok-cowok se-kampus dengan dia juga
melakukan hal yang sama. Wulandari sadar bahwa semua orang yang mendekatinya
sekarang merupakan godaan secara tidak langsung untuk menghancurkan hubungannya
dengan Felix.
“ Lagipula
belum tentu mereka lebih baik atau sebaik Felix, “ pikirnya.
***
“ Lan, aku aku
minta maaf ya untuk soal kemarin-kemarin. Aku terlalu emosional. Habis...kamu
juga sih...marah-marah padaku di saat yang tak tepat. Tapi apapun kesalahan
aku...tolong dimaafkan ya... aku juga tak akan mengingat-ingat kesalahan kamu,”
kata Felix melalui telepon setelah beberapa hari sempat bertengkar sangat
hebat.
“Felix, aku
juga minta maaf. Aku tahu aku juga waktu itu emosional. Aku sayang kamu,
Felix,” jawab Wulandari seraya membiarkan air mata bahagianya perlahan menuruni
pipinya yang kemerahan karena sudah akur lagi dengan sang pujaan hati.
***
Setelah genap
sebulan bekerja, Felix mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dia merasa
sangat diperlakukan tidak adil. Dia dibayar kurang dari Rp. 900.000. Padahal
dia pantas mendapatkan lebih karena kemampuannya dan ijasah S1-nya. Dia juga
kini siap untuk bekerja di tempat yang baru. Dia melamar pekerjaan di Manado
Post sebagai wartawan. Sangat senang hatinya karena melihat namanya terpampang
di koran. Dia telah diterima untuk menjadi wartawan. Pekerjaan yang
diidam-idamkannya selama ini.
***
Wulandari dan
Felix sangat mensyukuri hal itu. Mereka mulai sering bertemu lagi dan
bersama-sama menempuh hari-hari mereka. Kalau lagi libur, Felix selalu
menjemput Wulandari di kampus. Mereka telah dipersatukan oleh keinginan untuk
selalu bersama.
***
TAMAT
10.
Teruna Abadi
Di kampung kami ada hidup seorang
teruna yang sudah agak tua. Yosi namanya. Dia selalu terlihat di pagi dan siang
hari setiap kali kami hendak berangkat ke dan pulang dari sekolah. Pakaiannya
sungguh membuat aku prihatin. Berjalan dengan celana pendek dan kaos oblong
yang dekil karena arang tak jadi soal bagi si teruna ini. Siswa-siswi yang berpapasan dengannya
terkadang melemparkan tawa-tawa mengejek, namun tak pernah dia marah atau
tersinggung. Hal-hal itu begitu enteng diterimanya.
Dia hidup normal dalam rumah
sederhananya. Ada tinggal di situ dia, mamanya, dan dua adiknya perempuan yang
sudah berkeluarga. Dua adik iparnya minta ampun malasnya. Mereka paling hebat
kalau membuat anak. Jadinya, semua tanggungan ada di pundak Yosi.
Sedikit pun dia tak mengeluh. Dia terus
saja bekerja tanpa berharap ada orang yang akan membantu. Sungguh tak
berperasaan dua saudara iparnya itu. Mamanya yang sudah buta tak pernah
menyadari kelakuan jahat dua anak menantunya yang tiap hari kerja mereka hanya
nonton dan tidur. Sungguh tak tahu malu!
Pekerjaan Yosi adalah pekerjaan
mayoritas pria di kampung kami. Dia seorang pembuat gula aren. Mereka terus
saja membuat gula aren walau harganya naik turun seperti yoyo berkat permainan
pengusaha-pengusaha kecil di kampung kami.
Dia bekerja mulai subuh hingga malam.
Dia terlihat siang di kampung untuk makan siang sekaligus melihat ibunya yang
kadang-kadang ditelantarkan oleh orang-orang serumah. Untung, letak tampa
gula-nya tak jauh dari rumah.
Orang-orang bisa bertandang ke tampa
gula kapan saja. Dia tak merasa rugi bila berkali-kali orang datang meneguk
beberapa tempurung saguer dari kuali. Tempat dimana dia bekerja telah
banyak kali dijadikan sasaran penelitian mahasiswa. Sampai-sampai pernah ada
seorang anak gadis kuliahan tertarik dan jatuh cinta padanya oleh karena
terkesima dengan profesianalisme Yosi ketika memaparkan secara ilmiah
proses pembuatan gula aren. Walaupun tidak sekolah, karena bertahun-tahun
menggelutinya, serasa enteng dia memberi presentasi. Padahal, belum
tentu seorang mahasiswa dapat melakukannya. Ya begitulah, banyak mahasiswa yang
menjelang sarjana tak tahu menahu soal presentasi ilmiah.
Sayang, kata-kata gadis kuliahan itu
dianggapnya lelucon. Waktu si gadis menegaskan keseriusannya, Yosi dengan terus
terang menampiknya. Bukan karena dia
setia pada seorang gadis lain. Tapi karena sesuatu yang tak jelas. Aneh. Pria
yang tak tampan ini menyia-nyiakan lamaran seorang gadis istana. Padahal banyak
pemuda lainnya sekolah tinggi dan berobsesi jadi kaya raya demi mendapatkan
seorang gadis cantik barang satu saja.
Ganjil. Barangkali Yosi telah hilang
kewarasannya. Si Yuli, pacarnya, kini telah menjadi perawan tua gara-gara sikap
Yosi yang tak jelas itu. Dia masih menunggu walau tak pernah diminta Yosi untuk
menungguinya.
Yosi masih ke rumah gadis itu namun tak
pernah dia berjanji mengantarnya ke pelaminan. Gadis itu hanya berharap. Terus
berharap entah sampai kapan. Tabuh bagi dia bertanya mengenai ikhwal itu pada
Yosi.
“Yos, umurmu kini telah empat puluh.
Kenapa juga tak kau nikahi si Yuli itu? Masihkah kau menanti yang lain? Jangan
pilih-pilih Yos. Pili-pili ahirnya dapa langsa busu,” kata Rivon karena
kasihan melihat Yosi yang tiap hari bekerja bagai budak. Mungkin Rivon juga
ikut menjadi saksi keganasan keadaan yang dialami Yosi. Memang, hak ikhwal Yosi
tak lagi menjadi rahasia.
“Untuk apa menikah? Aku sudah bisa
memasak, menyuci dan mengerjakan semua yang bisa dilakukan seorang istri?”
jawab Yosi dengan sedikit berkelakar. Disertai tanya.
“Ah Yosi, tidakkah kau ingin merasakan
nikmatnya tidur bersama seorang wanita? Tak maukah kau dilayani seorang istri?
Tak sudikah kau beroleh keturunan? Penerus. Penerus margamu Yos,” tambah Rivon.
Rivon berusaha menyadarkan Yosi tentang
pentingnya berkeluarga. Hidup bahagia di hari tua dengan didampingi anak istri
dan cucu. Terus saja dia
mengiming-imingi Yosi tentang sesuatu yang sebenarnya tak diyakininya betul.
“Maukah kau korbankan kebahagiaan kau
hanya demi kesedapan di atas ranjang nun singkat itu Von? Kau lihat hidup si
Jerry, saban hari bertengkar dengan istrinya gara-gara setiap pulang dari sawah
istrinya asik nonton dan bakarlota dengan teman-temannya. Kau lihat si
Eli. Anaknya pas kesebelasan sepak bola jumlahnya. Semua menumpang di rumah menantunya.
Kau lihat si Oni, dia ditinggal oleh istrinya setelah bosan dengan kesedapan
ranjang hanya dengan satu lelaki. Tak
usahlah kau pikir hidup aku, kawan. Aku bahagia dengan nasibku. Aku telah
memilih untuk sendiri bukan karena aku tak mau menikmati tubuh perempuan. Aku
memilih begini karena aku tak ingin mewariskan penderitaan pada anak-anakku.
Cukuplah aku yang merasakannya. Aku tak mau anak-anak dan cucuku mengutuki aku
karena telah menyebabkan mereka lahir ke dunia,” Rivon terpaku. Dia tertunduk malu.
Selama ini dia mengganggap Yosi adalah
orang yang bodoh yang tak memahami hidup. Selama ini dia berpikir bahwa Yosi
telah sesat pikir dan sesat tindak. Rivon malu tersipu telah menuduhkan hal-hal
yang tak baik pada Yosi.
“Rivon, kenapa kamu ingin menikah? Apa
karena kamu yakin kamu bisa membahagiakan anak istrimu? Apa kamu yakin sanggup
mendidik anak-anakmu menjadi anak-anak yang berperilaku patut dan tak akan
menjadi musuh negara kita?” Rivon masih tertunduk. Tak berani dia mendongak.
“Von, kalau kau tak yakin bisa dengan semua itu, bukankah sebaiknya kau
mencegah satu langkah agar tak ada langkah-langkah lain yang nanti membawa kau
ke jurang sengsara abadi? Hidup itu singkat, kawan. Jangan kau hanya berpikir
bagaimana memuaskan keinginanmu semata. Bahagiakan orang lain. Atau paling
tidak, cegahlah ketidakbahagiaan itu.”
Rivon tak berani mendongak hingga kini.
Yosipun melanjutkan pekerjaan. Sudah waktunya mengambil sareng-sareng
yang bergelantungan di atas pohon aren. Lalu, dia masih harus mencari kayu
bakar. Tambah lagi dia harus merebus saguer. Rivon pulang tanpa pamit.
Sempat dilihat Yosi pria yang sok tahu itu pulang tanpa pamit. Tanpa basa basi.
Pulang tetap tertunduk. Dalam hati terus menyalahkan diri sendiri karena telah
berprasangkah sangat tak adil kepada Yosi. Teringat oleh Rivon sebaris kalimat
goresan Pramoedya Ananta Toer, “Seorang cendekiawan harus bertindak adil sejak
dari pikiran.”
23/02/2012
11.
Toar dan Lumimuut
Berjualan Kacang di Singapura
Della, pacarku, mengusulkan supaya kami
mampir sebentar di sebuah toko agar dia bisa membeli sesuatu untuk temannya
yang sedang menunggu di kosnya. Usulan itu tak aku tampik karena memang aku
ingin jalan-jalan lagi ke area pertokoan itu. Pasar swalayan itu adalah pasar
modern yang sangat besar. Dulunya kawasan itu begitu terkenal sehingga orang
kampung di pelosok manapun di Minahasa tahu dengan itu. Sampai-sampai ada
teka-teki lucu yang bunyinya begini, “Ada berapa matahari di Manado Alo?”
“Satu,” jawab Alo. Dengan cepat penanya bilang bahwa jawaban Alo keliru. “Salah
Alo!” Matahari yang dimaksud penanya adalah nama toko swalayan terbesar di
Manado. Memang baru saja berdiri Mega Mall. Di situ ada juga Matahari. Penanya ingin mengetes
apakah Alo tahu dengan perkembangan baru itu. Maklum, Alo yang kesehariannya
sebagai magula, jarang pergi ke
Manado. Si Alo salah juga memahami pertanyaan yang dilontarkan itu. Dia
menganggap matahari yang dimaksud penanya adalah secara harafia. Dia dengan
setengah berteriak bilang, “Ado kasiang ngana Yus, sedangkan cuma satu
matahari, ngana lia kamari kita pe kuli so sama deng panta blanga. Apalagi
dua!”
Sekarang gedung banyak tingkat itu tak
lagi menjual barang. Melainkan jasa. Telah menjadi laiknya surya yang memberi penerangan kepada orang yang
masuk dalam gelap sakit. Tapi namanya bukan lagi Matahari. Sudah berupa menjadi
Siloam Hospitals. Rumah Sakit Siloam. Begitulah bunyinya dalam bahasa
Indonesia.
Tujuan kami saat ini bukan ke situ.
Pacarku membawaku ke Singapura. Sebuah toko yang menjual bermacam-macam kue
basah. Tak jauh dari rumah sakit baru itu. Kami berjalan ke arah pasar 45.
Dalam perjalanan aku memperhatikan sekeliling. Berharap mendapat inspirasi
untuk novel yang sementara aku tulis.
Aku tergugah melihat pemandangan yang
membuatku seperti mengalami Dejavu. Aku melihat sendiri Toar dan Lumimuut baru bertemu dan menyamakan
kedua tongkat mereka. Tampak memang tongkat mereka sudah tak sama panjang.
Mereka boleh menikah. Toar yang dewasa tampak semakin gagah. Lumimuut yang awet
muda buat Toar terperangah.
Rasa penasaran membuat aku keluar lagi
dari toko itu. Bau aneka kue basah yang harum dan menggoda selera tak bisa
menyaingi rasa penasaranku untuk kembali melihat dua orang yang adalah leluhur
orang Minahasa itu. Saat aku keluar terdengar Toar dan Lumimuut bercakap mesra.
Mungkin sedang membahas keturunan mereka, makatelu pitu yang kawin
campur dengan Makarua Siow. Aku mendekat. Nekat. Memastikan apa yang
sedang kulihat.
“So brapa ngana pe kacang da laku?”
tanya Toar. Tangan kirinya memegang se kotak halua. Sedang tangan kanannya
mengusap-usap tongkat berwarna abu-abu.
“Mana mo laku ni kacang tore ini.
Torang sala tampa ini sto no. Co ngana bobow, pe sadap skali tu kukis di dalam
no. Nda ada orang Manado mo makang kacang tore atau halua kete di saman
sekarang. Asi ngana tahu bagimana orang Manado sekarang pe gengsi,” kata
Lumimuut.
Sudah lama rupanya dua orang tunanetra ini berdiri di depan toko kue
itu. Nasib mempertemukan mereka. Toar
tampak begitu rapih. Gayanya seperti seorang dosen. Sedangkan Lumimuut mirip keke
yang dikirim ke Taiwan atau Singapura. Busananya santai. Potongan rambutnya
yang pendek ditambah celananya yang juga pendek semakin mengukuhkan
kemiripannya dengan seorang TKW yang baru saja pulang membawa dolar.
“Halua!
Halua…halua kacang!” teriak lelaki tunanetra itu lantang. Si perempuan
tunanetra diam saja.
Mungkin pemilik toko kue basah itu
terusik. Seorang cleaning service keluar dengan sapu. Sungguh tak sopan
dia. Sudah tahu ada orang, lalu dia tetap mau bersih-bersih. Mubazir. Tak ada
guna menyapu pada lantai yang dilewati tak hentinya oleh orang yang lalu lalang
di depannya. Aku berdiri saja di depan toko walaupun tahu dia akan menyapu
lantai di mana aku berdiri. Karena tak bergeser dan mataku menatapnya tajam,
dia pun sadar bahwa aku harus diperlakuan istimewa. Dia ingat bahwa pembeli ada
raja. Aku berpotensi menjadi seorang pembeli.
Dia mengganti arah.
Dia menyapu ke arah sepasang tunatetra itu.
Dia tahu mereka tak bisa melihat. Dia menyapu terus walau abu berhamburan di
hadapan sepasang tunanetra. Sang cleaning service ini merasa punya
kesempatan berbuat semena-mena pada orang malang. Alangkah tak adilnya.
Aku melakukan gerakan mencurigakan
untuk mencuri perhatiannya. Saat kami bertemu pandang ku tunjukkan raut
ketidaksetujuan kepadanya. Dia pun mengerti dan segera berhenti.
Dekat trotoar terlihat seorang tukang
parkir berjalan dengan kedua tongkat tripodnya. Mungkin dia baru saja sembuh
dari penyakit supi karena terlalu banyak minum cap tikus. Tikus
telah menggigit urat-urat vitalnya sehingga dia lebih tak berdaya daripada
sepasang tunanetra itu. Pria dengan tongkat tripodnya berkali-kali memaki
ketika hanya diberi uang receh oleh para bos yang lewat dengan mobil-mobil
mewah keluaran terbaru. Ada perbedaan yang menggelitik dari dua orang tunetra
dan tukang parkir. Tunanetra yang menggunakan tongkat seadanya padahal mereka
tidak melihat. Dan mereka berjalan seperti orang normal. Sedangkan tukang
parkir matanya belum rabun tapi dia memiliki dua tongkat dengan jumlah kaki,
enam.
“Smo pigi kita e,” kata ibu tunanetra
memecah lamunanku. Perlahan dia menyusuri jalanan ramai.
“Oh kita kira ngana so pigi dari tadi,”
jawab bapak tunanetra.
Tak ada lambaian tangan atau pun jabat
tangan. Juga tak ada anggukkan kepala. Mereka tahu semua gesture itu tak
berlaku dalam dunia mereka. Tapi aneh, jarang terjadi kesalahpahaman dalam
komunikasi para tunanetra.
“Halua! Halua kacang!”
Tiba-tiba muncul rasa ibah dan haru
dalam dada. Perlahan si ibu tunanetra menjauh. Hampir pupus dalam jangkauan
mata. Sekilas ku lihat dia menjelma menjadi ibuku. Bapak tunanetra pula
menjelma sebagai ayahku. Ku kejar si ibu tunanetra dan kuberikan beberapa
lembar lima ribuan. Kuberikan juga jumlah yang sama kepada bapa tunanetra.
Kuingat temanku Kurniawan sering bilang, “Dengan tak memberi sepeserpun
pada orang malang begitu, kita meluaskan jalan revolusi. Teori-teori tentang
ramalan hancurnya kapitalisme pun akan terwujud.”
Dia selalu melarangku bila memberi
uang. “Kita akan membuatnya jadi malas. Atau bisa saja dia mungkin hanya
berpura-pura,” tambahnya.
Teringat pula kalimat dalam buku Emha
Ainun Najib, “Terkadang Tuhan pun masih memberi apa yang kita minta walaupun
dia tahu kita sering menipuNya.”
12.
Mental Pamong Praja
Indonesia
Masa Kini
Matahari belum terlalu tegak
berdirinya. Namun, kami sudah seperti cacing yang berteriak-teriak minta
tolong. Panas! Aku sendiri heran kenapa sang kepala sekolah mendapat ide gila
memuat puluhan siswa di atas sebuah truk. Kami diperlakukan seperti sapi yang
beberapa waktu lagi akan dijagal. Padahal, dana BOS tidak perlu dihemat dengan
cara tidak manusiawi seperti ini.
Sialnya, gara-gara aku hanyalah seorang honor yang masih bujangan, aku dianggap
layak untuk dibuat teraniaya. Sementara para guru lain dengan modal seragam
PNSnya bertindak seolah bos-bos yang harus dihormati. Sialan! Bagusnya hanya
pada seragam. Di dalam kelas seperti keledai saja. Tak mengajar sama sekali.
“Sir, kenapa cuma sir yang nda gabung
ta panas-panas deng torang di sini? Nda adil dorang kang sir?” ketus salah
seorang siswi. Aku hanya senyum kecil.
Sangatlah tidak pantas bila aku harus
menceritakan perasaanku yang sebenarnya pada seorang gadis yang belum cukup
pengertiannya. Lagipula aku tak mau menjelek-jelekkan guru-guru lain itu di
depan para siswa. Walaupun sebenarya ketidaktahuan mereka mengajar begitu dikenal
oleh para murid. Memang, terkadang guru tidak menyadari bahwa sebenarya siswa
lebih banyak tahu dari yang kita sebagai guru kira.
Sesampai di ibu kota kecamatan, para
guru-guru PNS dengan pongah memerintah
saya supaya mengarahkan para murid ke lapangan dimana upacara bendera akan
dilangsungkan. Aku minta mereka agar sabar dengan murid karena mereka sedang
capek karena kegerahan. Guru-guru itu terus mendesak gara-gara upacara sudah
sementara berlangsung. Ternyata kami datang terlambat. Dengan langkah diam-diam
kami masuk ke barisan. Terpaksa siswa-siswa rombongan kami harus menyambung di
barisan sekolah lain sebab tempat yang disediakan sudah disabotase sekolah
lain. Tentu, akan sangat kentara juga bila kami harus mencari tempat di depan.
Akan lebih mempermalukan lagi sekolah kami. Satu persatu aku meminta siswa agar
masuk dan menutupi barisan. Susah memang mengaturnya. Dalam situasi begini,
seringkali siswa-siswi suka bergelagat. Mereka tahu sanksi tak mungkin
diberlakukan. Aku menggunakan cara yang paling lembut untuk menenangkan mereka.
Sudah itu akup pun mencari tempat di mana aku bisa berbaris. Yang kupilih
adalah di belakang para siswa yang aku antar. Kebetulan berdekatan dengan
barisan guru.
Anehnya, kini yang paling gaduh justru
barisan para guru. Mereka saling bergantian berseloroh. Paling banter adalah
kepala sekolahku sendiri. Leluconnya yang berbau porno menyihir para guru muda
lain untuk larut dalam cerita-cerita itu. Barisan merekapun seperti ular. Semua
memegang koran sebagai penutup wajah dan kepala. Sedangkan siswa mereka
pelototi bila tidak berbaris dengan benar. “Ironis!”
“Istirahat di tempat grak!” teriak si
pemimpin upacara.
“Ah lega,” ketus para siswa
berbarengan.
Dalam situasi begini mana ada yang mau
mendengar wejangan inspektur upacara. Dia seenaknya bicara pacang. Dia memang
enak. Ada di panggung kehormatan. Terik matahari tak akan bisa menyengat
mereka. Mereka juga bisa duduk. Mereka mengajarkan tentang perjuangan, mereka
sendiri tak memberikan panutan. Mereka berperilaku persis seperti orang belanda
yang suka perintah-perintah, sedangkan kami, distraf seperti tahanan. Dijemur
di bawah panas yang tak punya belas kasih.
Aku masih saja berdiri tegak dengan
kaki sedikit mengangkang. Kedua tanganku menyilang di belakang. Seperti
diborgol. Aku membayangkan diriku persis seperti Walter Monginsidi yang siap
dieksekusi oleh regu tembak. Peluh mengalir deras dari kepala. Punggungku sudah
basah. Benar-benar basah. Barisan guru-guru semakin beringas. Tawa semakin
melengking. Tiba-tiba seorang siswa perempuan terombang-ambing di atas tanah.
“Sir! Sir! Fista pusing, sir!”
Dengan cepat aku berlari menahan tubuh
mungilnya sebelum memukul tanah. Siswa-siswa dari sekolah lain dengan sontak
pun berkerumun.
“Sudah. Jangan dekat-dekat. Nanti dia
tambah kepanasan. Kembali ke barisan!” kataku kepada mereke. Tampak siswa mulai
berhamburan sambil mencari-cari air. Di barisan lain juga siswa terlihat satu
per satu tumbang. Inspektur upacara masih saja terus bicara. Dia masih
menbacakan sambutan tertulis bupati. Belum ada tanda-tanda mau berhenti. Itu
baru sambutan tertulis bupati. Belum lagi sambutan lisan dari inspektur itu
sendiri. Aku heran dengan pejabat di negara ini. Mereka suka sekali
berkata-kata di depan banyak orang. Padahal kinerja mereka nol besar.
Setelah membaringkan siswi yang pingsan
itu. Kulepaskan sepatunya. Dan kuminta siswa perempuan akar melonggarkan
pakaian sehingga dia bisa bernafas bebas. Seketika itu juga kulihat semua
siswa-siswi dari sekolah kami sudah tak ada lagi yang ikut dalam barisan.
Semuanya telah berjalan mencari air. Mereka sudah tak tahan. Akupun setuju
saja. Barisan guru-guru juga sudah bergeser ke bawa pohon untuk menghindari
sengatan matahari.
***
Setelah upacara selesai aku bertemu
dengan seorang guru dari ibu kota kecamatan. Dia lebih dulu yang menegur. Dari
mobil jimmy dengan sok dia memamerkan kendaraannya. Aku dengan spontan berkata,
“Eh so ta bae nga e!”
Dia dengan pongah menjawab, “Batabung
no.”
Sungguh pongah. Mana bisa dengan gaji
seorang PNS yang baru genap setahun sudah bisa memberi mobil seperti itu?
Emang, gajinya berapa?
Aku jadi teringat masa lalu kami. Kami
dulu sama-sama pernah terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di tingkat
fakultas. Sewaktu saya menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, dia adalah
ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa. Saya di eksekutif. Dia di legislatif.
Dia pernah memohon-mohon padaku agar
mendukungnya menjadi ketua. Saya berusaha membantu. Dan akhirnya dia menjadi
ketua MPM.
Suatu waktu saya mendapat tugas keluar
daerah mewakili kampus. Selama saya pergi dia ternyata membuat kesepakatan
diam-diam dengan pimpinan fakultas mengenai pemotongan beasiswa. Lima juta
kantonginya. Itu adalah dana untuk organisasi. Tapi, dengan tamak dipakainya
untuk pribadinya. Karena diuber-uber oleh anggota MPM lainya dia kembali
meminta tolong kepada saya. Dengan tegas saya bilang saya tak bisa membantu
dia. Karena jika demikian, sama saja turut menjadi koruptor seperti dia.
Jadi, mustahilah kalau dia sudah kaya
sekarang kalau belum sampai setahun dia menjadi PNS. Menabung?
13.
Ingin Kaya
Herman baru saja pulang dari sekolah.
Dengan langkah cepat dia berlari mencari ayahnya di sawah. Kini ayahnya adalah
lelaki tua yang kesepian menjalani hari-hari sembari mengenang masa silam.
Dulu, dia adalah abdi negara. Banyak orang desa menjadi tahu membaca dan
menulis karena upaya dan kerja kerasnya. Meskipun begitu, profesinya tak pernah
menjadi prioritas dalam perhatian pemerintah.
Dia juga ingin anak-anaknya mengenyam
pendidikan sehingga nasib boleh berubah. Tapi, harapan tinggal harapan. Semua
anaknya tak ingin sekolah tinggi. Mereka enggan keluar desa karena tak ingin
dicemooh oleh orang-orang kota. Orang-orang di desa tetangga pun sering bilang,
“Kita tunggu babi panjat kelapa dulu, baru desa kalian menjadi maju.” Begitu
membekasnya pernyataan penghinaan itu sehingga anak-anaknyapun sangat rendah
diri. Tapi, Herman adalah kekecualian. Dia satu-satunya yang ingin melanjutkan
sekolah ke jenjang paling tinggi. Sewaktu dia memberitahu ayahnya bahwa
cita-citanya adalah menjadi seorang dokter, ayahya sangat bangga. Sekaligus
menyebabkan pria tua harus menyapu dada. Maklum, menjadi dokter adalah
cita-cita yang hampir mustahil untuk diwujudkan oleh mereka yang tergolong
miskin.
Demi
cita-cita, setamat SD, Herman harus berpisah dari orangtua dan
saudara-saudarinya. Saudaranya ikut membantu ayah mereka bekerja untuk
menopangnya yang kini menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. Demi membeli buku dan mengikuti praktikum-pratikum dia menghemat
dengan luar biasa. Kadang-kadang dia hanya makan sekali dalam sehari. Tambah
lagi pungutan fakultas itu banyak. Pungutan yang dikemas seolah-olah untuk
pembangunan padahal, untuk membuat buncit perut para dosen dan stafnya.
Semakin
bertambah semester semakin bertambah pula biaya yang dibutuhkan. Pekerjaan
sampingan berusaha dicarinya agar beban orang tua dan saudaranya sedikit meringan.
Hingga pada suatu saat dia bertemu dengan seorang gadis desa. Gadis yang dia
temui sewaktu dia menjenguk kakeknya di sebuah desa terpencil di Tondano. Gadis
centil itu begitu memikat. Sayangnya, gadis itu tak memenuhi kriteria ideal
Herman. Cantik, berpendidikan, baik hati adalah ciri yang secara matang telah
ditetapkannya menjadi syarat orang yang nantinya menjadi pendamping hidupnya.
Pertemuan demi pertemuan kian menciptkan kedekatan bagi kedua insan itu. Gadis
centil bunga desa itu tergila-gila pada Herman. Perasaan yang tak tertahankan
dirasa harus diungkapkan. Grice meminta bantuan sepupu laki-lakinya untuk
menyampaikan maksudnya. Usaha
sepupunyapun berhasil. Herman pun tak banyak cincong. “Apa salahnya dicoba.
Toh, belum tentu hubungan ini akan sampai pada pernikahan,” bisiknya pada
dirinnya sambil tersenyum kecil. Tantangan terucap. Tantangan telah diterima.
“Apa
keinginanmu Herman? Mengapa kamu menyiksa dirimu bergumul dengan buku-buku
tebal selama beberapa tahun?” tanya Grice pada suatu senja ketika mereka duduk
di teras rumahnya.
Pertanyaan itu dirasa cukup dalam.
Pertanyaan yang seharusnya dijawabnya sebelum masuk fakultas termahal itu.
Ternyata Grice bukanlah gadis dengan tingkatan kecerdasan yang dangkal.
Ternyata dia sudah salah menilai Grice selama ini.
“Aku
ingin mengubah nasib,” jawab Herman singkat.
Kalimat singkat adalah upayanya paling
cerdas. Tak ingin dia dianggap macam-macam oleh Grice. Dia tahu persis bahwa
banyak bicara akan membuat banyak rahasia terungkap.
“Nikahi
saja aku kalau kamu ingin perubahan nasib. Aku yakin anak-anak kita akan hidup
nyaman tentram nanti. Tak lama lagi kamu akan jadi dokter. Aku akan melahirkan
anak-anak yang sehat dan kuat. Dan mereka tidak akan mendapat masalah dengan
biaya pendidikan mereka,” kata Grice dengan lugas.
Herman
tercengang dan tak percaya dengan apa
yang baru saja dia dengar. Grice sudah lama tahu bahwa Herman ingin menjadi
orang kaya sehingga bisa membantu keluarga di desa yang hampir melarat. Dia
tahu bahwa tujuan Herman menjadi dokter tidaklah seperti tujuan kebanyakan orang, yakni memberikan
kesembuhan bagi orang sakit. Tujuan yang sering terucap dari bibir dari calon
dokter. Tapi tidak lagi terdengar di saat mereka telah menjadi dokter. Apalagi
dokter yang mapan.
Memang
salah satu pertimbangan Herman bertahan dengan Grice, kalau dia mau jujur,
ialah karena kenyamanan ekonomi yang
bisa didapatnya di kemudian hari. Setelah dia tahu bahwa Grice adalah
anak tunggal dari keluarga dengan kekayaan yang takkan habis hingga tujuh turunan,
dia pun membuang semua kriteria yang pernah dia tetapkan berkenaan dengan gadis
yang harus mendampinginya hingga usia renta.
“Grice,
kita belum waktunya bicarakan pernikahan. Kita belum begitu saling mengenal,”
kata Herman terbata. Dia mencoba menghindari tatapan Grice.
“Tak
ada yang menghalangi. Orangtuaku suka sama kamu. Dan mereka juga siap membantu
anak mantu mereka agar segera menjadi dokter. Tapi, aku tak bisa memaksa.
Mungkin aku bukanlah gadis yang kamu impikan dan angankan selama ini.”
“Bukan
begitu, Grice. Aku…”
“Sssst,”
ucap Grice sambil menegakkan telunjuk didepan bibir Herman. Sekejab mata tangan
Grice begitu cekatan menarik Herman ke
dekat dadanya. Herman direngkuhnya dengan erat. Yang terjadi selanjutnya
silahkan tanya kepada kursi dan suasana remang-remang yang menjadi saksi
mereka.
***
Tahun itu juga mereka menikah. Tahun
berikutnya Herman dinobatkan menjadi seorang dokter. Sekarang dia menjadi
dokter di Rumah Sakit Umum Malalayang. Berkat
campur tangan mertuanya dia bisa menghindari kewajiban mengabdi di
daerah-daerah pelosok. Penghiantan terhadap kode etik dokter itu tak
dihiraukannya. Dan sekarang dia telah menjadi kaya raya. Karena banyak tanah
yang telah dibelinya dari orang-orang di desanya, dia kini menjadi pemilik tunggal
dari berhektar-hektar tanah. Dia pun dijuluki tuan Takur. Tuan tanah.
Di usianya yang sudah senja dia
membebaskan banyak biaya setiap pasien yang kurang mampu yang kebetulan berasal
dari daerah di mana dia lahir. Dia juga membangun sebuah gereja yang megah di
kampungnya dengan uang dari kantongnya sendiri. Mungkin itu untuk menebus akan
penghianatannya yang dia lakukan sewaktu masih muda. Setiap pagi dia selalu
berdoa, “Tuhan, biarlah aku damai dengan memberi uang untuk menyembuhkan sakit
dan untuk membangun rumahMu.”
14.
Kalau Bukan PNS, Tidak Sukses
Hari telah sore. Karena kecapean aku
tidur-tiduran saja di ranjang. Tak berapa lama kemudian terdengar suara
ketukkan pada pintu. Aku tahu mama sedang di luar. Dia sedang menjahit beberapa
pakaian sobek. Jadi aku enggan keluar membuka pintu.
“Selamat sore mam,” terdengar suara
Hesty. Ternyata kakakku yang datang.
“Hei…sayang. Sudah lama kamu tak datang
menjengguk. Gimana Lino dan Gloria? Baik-baik saja kan?” kata mama sesudah
mereka saling berpelukkan.
Dari celah jendela ku lihat kakak satu
per satu meletakkan bawaannya. Setengah pisang, sedikit ikan terik dan seikat
sayuran.
Hesty adalah kakakku. Sekarang dia
tinggal di Ongkau bersama suaminya. Hampir setahun dia tak berkunjung. Suaminya
seorang nelayan. Dia sendiri menjadi penjaja kue basah ke sekolah-sekolah untuk
menopang suaminya.
Ibupun
bergegas ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi untuk Hesty. Nampak
getir pada wajah Hesty. Ada apakah gerangan? Pasti ada sesuatu yang mengganjal
hatinya. Tentu ada persoalan di rumahnya. Mana mungkin dia datang jauh-jauh
dengan berjalan kaki hanya sekedar untuk menjengguk.
Ku urungkan niat untuk keluar kamar.
Rasa penasaranku muncul semakin kentara.
“Ma….mama…tak usah repot-repot!” kata
kakakku diikuti suara desah. Terlihat dia melepas beban berat.
Tak ada sahutan dari mama. Aku tahu dia
sedang membuat api di dapur. Kayu bakar akan lama dinyalakan. Butuh waktu
sekitar 15 menit. Maklumlah setelah subsidi minyak tanah dicabut dan digantikan
dengan gas LPG yang harganya minta ampun tingginya, orang miskin seperti kami
harus menerapkan hidup super hemat.
“Hesti…ini minum dulu. Kami pasti capek
jalan kaki sepanjang 9 km. Teh baik untuk kesehatan. Ibu hanya punya gula aren.
Gula pasir makin mahal soalnya. Bagaimana Irene?” kata ibu. Nampak wajahnya
berkeringat dan berasap.
“Dia sudah baik nasibnya. Sekarang
sudah PNS. Dan dia sudah menikah. Tapi sayang, suaminya hanya seorang guru
honor di SD. Heran aku. Sudah sekolah tinggi tapi mau sama pria yang tak jelas
masa depannya,” kilah Hesty.
Aku sedikit tersentak dengan pikiran
kakakku. Dia berpikir bahwa keberhasilan seseorang dapat dilihat dari harta dan
kedudukan. Yang membuat aku sedih adalah orang dengan kerja keras dan pengabdian
tinggi tetap dianggap rendah dan tak berarti. Padahal mereka melakukan
pekerjaan dengan dasar kejujuran.
Tak mengherankan memang. Mayoritas
orang berpikir seperti kakakku. Tawaran dunia yang menggiurkan lebih banyak
dapat penghargaan daripada usaha keras dengan kejujuran. Orang-orang tetap
bangga dengan kekayaannya meskipun diperoleh dengan cara korupsi dan dengan
jalan yang tidak halal. Yang lebih dilihat adalah hasil daripada proses.
“Tapi syukurlah. Paling tidak, Irene
tidak menjadi seperti ibunya yang hanya menjadi penjual rambutan,” ibu
menimpali.
“Mama…sebenarnya aku kesini mau…..ma…”
kakakku kelihatan begitu kikuk. Dia enggan menyampaikan maksudnya. Padahal
mereka hanya berdua.
“Katakan saja Ti. Apa yang membuatmu
malu? Aku ini mamamu. Mungkin bisa ibu bantu,” mama berusaha memberi rasa
nyaman.
“Anu ma…anu…aku…aku mau piiinjam uang
sama mama”.
Mama tampak sangat sedih melihat
anaknya. Matanya berlinang. Namun perlahan dia berdiri menuju kamar. Sejurus
kemudian dia kembali membawa sesuatu pada tangannya. Sebuah sapu tangan
terlipat.
“Hesty…bawalah ini. Perhiasan ini adalah pemberian papamu.
Juallah ini,” kata mama sedikit tak rela. Namun apa daya anak perempuannya
butuh pertolongan. Hesty dengan kepala tertunduk malu menerima pemberian mama.
Sungguh berat. Apa boleh buat. Dia tak rela melihat Gloria, bayi kecilnya
meninggal karena tak mendapat susu. Bayi yang sedang menetek pada dadanya diam
saja. Dia tampak paham kegundahan ibunya. Tak mau cengeng. Dia tahu itu akan
mengurangi penderitaan ibunya.
“Terima kasih banyak mama. Kami akan
berusaha menggantinya,” Hesty berdiri
kemudian mendekap mama sambil terseduh-seduh.
“Sayang, sebelum kau pulang. Makanlah
dulu agar kau tak kelaparan di jalan. Perhatikan baik-baik bayimu. Jangan
sampai dia kurang gizi,” tutur mama memberi nasehat.
Ingin sekali aku keluar kamar memeluk
mama dan kakak perempuanku. Aku pula ingin menggendong keponakanku walau hanya
sejenak. Tapi aku tak mau menambah beban malu kakakku. Ku bersembunyi dalam
selimut dan meraung-raung dalam diam. “Tuhan, lihatlah kami umatmu. Berikanlah
kecukupan.”
“Ini nasinya. Ini lauknya. Makan yang
banyak. Ceritakan sesuatu kabar dari kampungmu nak,” tambah ibu.
Setelah makan merekapun pulang. Ibu
berdiri di pintu. Sedangkan aku mengintip di celah dinding. Bersama kami
memandang kakak kami yang pulang dengan masih membawa pergumulan yang berat.
15.
Sayang,
Toar Tak Sampai
Tetewatu
Kami telah bersepakat untuk menikmati
hari libur Idul Fitri di tempat yang tak
lumrah. Biasanya kami pergi ke pantai. Mendengar suara gulungan ombak, dan
melihat riak-riak nan indah ketika air ditiup angin-angin kecil. Bahkan, tidak
jarang alasan kami pergi ke pantai adalah untuk untuk mencicipi rasa asin air
yang tergenang dalam kubangan yang begitu luas tersebut. Itu adalah kebiasaan
orang-orang kampung, yang biasa dicap udik, ketika turun gunung. Padahal orang
yang tinggal di pesisir pantaipun kelihatan lebih udik lagi ketika mereka pergi
ke desa kami yang ada lereng-lereng bukit demi melihat monyet-monyet yang punya
kemiripan dengan mereka.
Kami menikmati hari libur Idul Fitri
bukan karena kami pengikut Muhammad. Kami pengikut Yesus dari Nasaret. Kejenuhan
kami pergi ke pantai dikarenakan selama dua tahun ini pantai selalu menjadi
tujuan wisata kami. Akibatnya kami hampir lupa bahwa di sekitar kampung kami
juga terdapat situs indah. Namanya Tetewatu1.
Perjalanan ke situs itu cukup jauh
dengan medan yang sangat menantang. Tapi, tak satupun anggota pemuda kami yang
mengeluh soal ini.
Dalam rapat, sehari sebelumnya, kami
telah bersepakat untuk berangkat jam 08.00 pagi. Saat aku menanyakan baik-baik apakah mereka
bisa melaksanakan keputusan itu dengan baik, semua tiada menunjukkan
tanda-tanda penghianatan pada keputusan. Akupun teryakini dengan itu. Walaupun
awalnya ada keraguan. Ini karena mereka selalu saja tidak tepat waktu dan
sering melanggar setiap hasil musyawarah yang kami buat pada waktu lalu.
Besoknya aku bangun pagi sekali. Ibu
sangat baik padaku. Bekal untuk seharian aku telah dia disediakan. Ada nasi kaboro
dengan lauk yang unik, tikus yang disaus. Mulutku jadi bergidik saat mencium
aroma enak dari lauk khusus itu.
Sayapun siap. Bekal sudah ku taruh di
atas meja. Lengkap dengan sebilah parang untuk menebang kayu sebagai pembuka
jalan saat masuk di belantara kelak. Bisa juga sebagai jaga-jaga jangan-jangan
ada serangan ular tiba-tiba.
Kami setuju untuk berangkat bersama.
Sudah hampir jam delapan, tapi tak
satupun daribantara teman-temanku yang muncul. Aku keluar dari rumah dan
melihat ke langit bagian timur. Hitam pekat. Gelap!
“Akan hujan lebat sebentar lagi,”
gumamku dalam hati
Melihat kondisi seperti ini, aku ragu
akan kedatangan teman-teman itu.
Tak sampai 5 menit langitpun kembali
menyingkapkan matahari yang ditawannya.
“ Ada harapan kami bisa berangkat,”
kataku bahagia.
Sejurus kemudian datang beberapa teman
lelaki. Tak satupun yang membawa jinjingan. Mungkin kedatangan mereka untuk
memberitahukan bahwa mereka tak bisa bergabung dengan tim.
“Mau pergi tidak? Kok datangnya telat,”
tanyaku protes.
“Oh tentu tentu kami akan pergi. Kami
tak mungkin melewatkan kesempatan menjadi penjelajah bersamamu ketua. Awalnya
kami memang ragu sih,” kata Tamber separuh bergurau.
“Mana bekal kalian? Selalu saja
begitu…Kalian tak takut mati kelaparan di sana nanti?”
“ Salah satu dari kami kan pernah jadi
Tarzan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Hero pernah berkawan dengan monyet cukup
lama. Pasti akan ada yang membantu kami saat lapar. Hero tinggal meneruh kedua
telapak tangannya dekat mulut dan auwoooooooo!”
“ Hahahhahahha.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Ngomong-ngomong, mana yang lain?
Maksudku para gadisnya. Kan tidak seru kalau yang pergi hanya lelaki saja?”
“Shila, katanya akan ikut. Memei….tidak
tahu. Tak pasti.”
Tak sampai seperempat jam kemudian
pasukanpun telah bertambah. Matahari kini semakin nampak dan mulai menggigit.
Kulihat jamku. Sekarang jam 08.30.
“Huh…Kita sangat jauh dari rencana,”
kataku kesal.
Setelah semua telah terkumpul di
rumahku, kamipun berdoa. Sehabis anggota dihitung, kamipun mulai bergerak
lambat ke arah barat. Tujuan kami adalah situs yang bernama Tetewatu.
Pergerakan yang cukup lamban. Senda
gurau pun menemani langkah-langkah mungil kami.
Belum sampai setengah kilo meter,
kulihat Toar berlari kearah berlawanan dengan arah tujuan kami.
“Kau mau kemana, Toar?”
“Aku lupa sesuatu!”
“Lupa apa?”
“Alkitabku tertinggal di atas meja. Di
rumah kamu.”
“ Dasar! Kecil-kecil, sudah pikun.
Kalian bisa jalan terus. Tak perlu tunggu aku. Aku bisa nyusul!”
“Tapi kamu tahu tidak jalan ke
Tetewatu?”
“
Tenang ketua, aku bisa menyusul kalian sebelum di persimpangan jalan.”
“ Ok, kalau begitu.”
“Cepat ya. Jangan buat kami menunggu
terlalu lama!”
Kamipun melanjutkan perjalanan.Tapi
langkah sengaja lebih ku perlambat. Supaya Toar bisa mengejar kami. Teman-teman
lain sudah berada jauh di depan. Mereka sekarang sudah tak kelihatan. Sudah
dilumat belokan.
Sesampai dipersimpangan, Toar belum
muncul. Sudah 15 menit di situ tapi kami hanya berdiri saja. Dia tak juga
menampakkan batang hidungnya. Saya dan kekasihku terpaksa harus siap-siap
diserang penyakit farises.
Apa boleh buat. Harus kami tunggu.
Sesuai kesepakatan kami wajib jalan
bersama supaya hal-hal yang tak diinginkan tak terjadi.
Lama-lama kamipun bosan berdiri di
persimpangan seperti menunggu-nunggu ojek. Kami putuskan untuk lanjutkan
perjalanan.
Dengan demikian, anggota kami tidak
lagi 18 orang. Sekarang kami tinggal 17 orang. Toar tidak tahu menahu jalan ke
Tetewatu. Tapi, dia bersikeras untuk tak ditunggui. Kini lihat akibatnya.
“ Oh Toar yang malang! Sungguh sangat
disesalkan kamu tak akan termasuk dalam kelompok pemuda yang pertama melaksanakan
ibadah wisata di Tetewatu. Namamu takkan tertulis dalam sejarah,” kataku
seperti mengucapkan puisi.
Langkah kini kami percepat. Harus
menyusul teman-teman yang lain. Masih banyak persimpangan jalan di depan.
Kelompok yang terpisah-pisah akan tersesat nantinya.
Langkah semakin ku percepatan.Kian
cepat. Kekasihku mengeluh. Kakinya mulai belas. Aku seperti tak begitu peduli.
Ku jelaskan alasan logisku. Dia tampak tak puas dengan penjelasanku. Wajahnya
jadi cemberut. Tanda-tanda ketuaan tersingkap. Padahal umurnya baru 19 tahun.
Benar kata orang:“ Marah-marah cepat beking tua.”
Ku perlambat langkah. Ku jemput dia. Ku
raih tangannya. Ku berikan satu kecupan manis. Ada senyum tersungging di sudut
bibirnya. Sangat mudah ternyata menjinakkan seorang singa betina muda.
Memang kecupan lebih bermanfaat daripada rentetan kata yang panjang.
Kecepatan langkah kami berdua kini selaras. Gara-gara begitu kami sekarang
berada di belakang teman-teman yang tadinya di depan. Dengan jarak hanya 20
meter. Ternyata mereka juga memperlambat
langkah demi menunggu kami. Mereka kini berpeluh. Beberapa dari para gadis
manis mulai mengeluh. Para pemuda setengah bayapun ikut-ikutan. Maklum mereka
bukanlah petualang sungguhan sepertiku.
“ Wah enaknya jalan berdua sang pujaan hati.
Kami jadi irih. Frengki, mau tidak kamu jadi pasanganku? Sehari ini saja.”
“ Tidak mau ah… Najis!”
Gelak tawapun meledak seperti ledakan
bom Marriot yang menewaskan beberapa warga Negara asing. Untung saja bomnya
bukan bom betulan. Nasib kami tak jadi seperti WNA yang tewas mengenaskan. Yang
menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia sempat memanas.
“ Woi…..tunggu! Aku disini.”
Serta merta semua kami berbalik melihat
mencari-cari asal suara. Ternyata si Toar. Badannya berguncang-guncang.
Ngos-ngosan. Pakaiannya kini basah.
Dia menyusul kami dengan berlari.
Sambil membawa bekal makanan berkuah yang kini terlihat sedang meleleh. Bau
tumis membuat kami lapar. Tapi perjalanan belum separuh. Bukan kebiasaan yang
baik makan sebelum sampai di tempat tujuan. Pantang buat kami. Itu pesan
apo-apo2 kami.
Tak sampai 10 menit. Kami tiba di
perkebunan Aser. Para lelaki mulai berteriak. Memanggil-memangil Anto, Yanli
dan dua gadis yang mereka gonceng di motor mereka. Kami sudah bersepakat
ditunggu di tempat itu. Semakin keras kami berteriak. Tapi tak ada sahutan.
“Sekarang kita sudah di sini.
Selanjutnya kita mengambil jalan yang mana? Ke kiri, ke kanan atau lurus saja?”
tanyaku.
“Lurus boleh. Tapi jauh. Kalau mau
cepat seharusnya kita lewat jalan Punti2. Bukan di sini,” Jawab si
Ading berambut harajuku itu.
“Loh kok kami tak dibilang tadi?”
“Ya…ku pikir tak perlu lagi. Kita kan
sudah buat kesepakatan bahwa teman-teman yang datang dengan sepeda motor tunggu
di sini. Jadi ku ku simpulkan kita akan
memilih jalan lurus,” katanya dalam ketidakpastian.
Sewaktu aku berdebat dengan Ading, ku
lihat Toar mengambil jalan ke kanan. Akupun jadi berkesimpulan kita semua akan
ke kanan. Bingung!
Aku mulai berjalan searah dengan Toar.
Membuntutinya.
Ading datang mencegah. Toar pergi
semakin jauh. Kami berjalan kearah lurus. Bukan ke kiri atau ke kanan. Kami
berusaha memangil si Toar. Seruan kami tak dihiraukan. Dia lupa akan
kesepakatan bahwa kami tetap harus bersama. Seyogianya tak ada yang jalan
sendiri. Kami terus berseru memanggil. Diapun membalas namun suaranya makin
memudar. Keras kepala! Dia pikir dia telah mengambil jalan yang benar. Kini
suaranya tak terdengar lagi. Kami putuskan untuk teruskan perjalanan. Lurus
kedepan. Lewat sungai besar. Beberapa teman gadis ada yang takut melintasi
sungai. Terpaksa kami temani lewat sisi lain. Melalui jembatan darurat. Ya kami
mengambil alternatife jalan di jembatan
kayu.
Kami masih menunggu susulan Toar.
Sampai sekarang dia tak kelihatan. Dasar keras kepala! Daripada stres saya
putuskan untuk berhenti merisaukannya. Kami jalan terus. Naiki lereng yang
curam.Turuni lereng yang miring. Naiki bukit miring.Turuni lereng yang terjal.
Tak lama kemudian terdengar bunyi
aliran air yang deras.
“Itu pasti sungai Tetewatunya,” seruku
dengan riang yang tak tertahan.
Hati mulai berdegup-degup.Tak sabar
kami untuk melihat buatan tangan Tuhan yang elok. Seelok eden dimana Adam dan
Hawa jatuh dalam dosa.
Berharap sesampai di sungai, Tetewatu
persis di depan mata. Ternyata tak seperti itu.
Kini si Ading sang pemandu mulai
berjalan di depan kami.
“Kita harus menyusuri sungai. Kita akan
mengikuti arus. Kemana air sungai ini mengalir, kesanalah kita. Dia akan
membawa kita ke tujuan kita,” kata remaja tanggung berambut pirang karena dicat
itu.
Kami menaruh kepercayaan penuh padanya.
Walaupun awalnya ada sedikit keraguan.
Tiba-tiba wajah Toar terbayang.
“Kira-kira dia dimana ya,” bisikku
dalam hati.
Sebagai
pemimpin rombongan aku punya tanggungjawab atas keselamatan dia.
Bagaimana kalau dia hilang. Tentu orang tuanya akan menuntut padaku. Aku
berharap dia benar. Mungkin dia sudah tiba di Tetewatu. Sebab itu yang dia mau.
“Dia nekad mengambil jalan ke kanan
karena dia yakin itu adalah jalan yang akan mengantarnya ke Tetewatu dan tentu
mendahului kedatangan kami ke Tetewatu.”
Aku dan gadisku terus berjalan
membuntuti teman-teman. Sungguh petualangan yang hebat. Hujan mengguyur dengan
cekatannya. Tubuh kami basah kuyup oleh hujan dan air sungai karena sudah
beberapa kami tercebur karena terpeleset pada batu-batu yang berlumut.
Di belakang kami ada sepasang
kekasih.Tampak mereka saling menjaga. Tangan mereka tak bisa lepas satu sama
lain. Pasangan yang serasi. Mereka masih kuliah tapi mungkin bulan depan mereka
akan segera menikah.
Aku dengar si wanita sudah berkali-kali
mendesak sang lelaki supaya cepat melamarnya. Si lelaki masih menolak secara
halus.“Belum ada uang”, katanya.Ya memang di jaman sekarang serba mahal. Supaya
bisa menikah, kita harus punya sedikitnya 20 juta. Aku sering bertanya: “ Untuk
apa? Apakah perempuan sebegitu rendahnya sehingga dibayar seperti barang? Tak pentingkah cinta
lagi sehingga perkawinan didasarkan pada harta belaka?”
Jaman sekarang memang semakin
materialistik. Anak perempuan sendiri dijadikan barang komiditi. Tidak sedikit
orang tua yang door to door
menawarkan anak perempuan mereka pada orang-orang berduit. Banyak yang
berminat, tapi selalu saja memberikan penawaran. Calon pembeli selalu bertanya.
Tidak jarang pertanyaan itu merusakkan pendengaran.
“Aku mau beli. Tapi, anakmu terbuat
dari apa? Apa benar-benar buatanmu atau orang lain? Terbuat dari apa? Tepung
atau beras? Sudah berapa calon pembeli yang mencolek-colek? Apa anakmu sudah
pernah dicicipi? Isinya?Unti atau daging?”
Sungguh tak ubahnya seperti percakapan dalam
pasar tradisional. Ada penjual ada pembeli.
Pasangan kekasih seolah tak punya hak
menentukan hidup mereka. Padahal, yang akan menjalani penderitaan hidup adalah
mereka. Kenapa mereka tidak diberikan kebebasan memilih dengan siapa mereka
menderita dan bahagia?
“Hidup adalah penderitaan,” kata Budda.
“ Hidup adalah kesia-siaan adanya.
Berbahagialah mereka yang tak pernah dilahirkan,” keluh Salomo.
Kecenderungan sekarang adalah bagi
pasangan yang sudah cinta mati, mereka lebih memilih kawin lari saja. Atau
kalau tidak, si lelaki menghamili si gadis sebelum nikah. Supaya harga
komoditinya berkurang atau tidak dibayar sama sekali. Karena malu, sudah
bunting, orang tua si gadis suruh pasangan itu cepat-cepat kawin biarpun si
lelaki hanya gembel.
“Pili-pili dapa langsa busu4.”
kataku sini dalam hati, “ Ah… kenapa pikiranku sampai memikirkan itu?”
Sungguh mengejutkan! Kami sekarang
berada tepat di depan Tetewatu.
“Gerbang air yang luar biasa!”
Semua yang telah tiba lebih dulu tampak
gembira menikmati kemolekan situs hasil karya ilahi itu. Lekuk-lekuk badannya
tampak sempurna hingga buat kami bergidik. Layaknya para lelaki memandang
span-span5 yang lengak-lengok. Setiap mata melotot memandangi
ketelanjangan Tetewatu. Dia masih perawan. Kamilah sang pengambil kesuciannya.
Tak lupa kami mengambil beberapa gambar
kami sendiri secara bersama. 15 menit kemudian kebaktianpun dijalankan. Semua
begitu kusyuk ibadahnya. Kami bersembahyang dan menyanyi di tempat eksotis ini.
Rembesan air yang menyejukkan wajah menambah romantis suasana.
Lantunan-lantunan puji-pujian kepada
yang Maha Kuasa mengema merabai dinding batu. Para makhluk halus bingung dengan
gerak-gerik aneh yang berlaku. Mungkin mereka terusik. Mungkin juga mereka
keasyikan mendengar lagu pop rohani yang belum pernah terdengar sebelumnya.
“Ini luar biasa! Ini suatu kemajuan. Kita
melihat dunia baru,” kata makhluk halus yang sedikit open-minded6.
“Tidak! Ini adalah awal dari kehancuran
peradaban kita. Aku tak ingin generasi kita suka dengan lagu pop rohani yang
biasa membuat anak-anak muda kita berjingkrak-jingkrak seperti orang gila,”
kata makhluk halus yang konservatif.
“Hey Konservat, sudah saatnya kita
bangkit dan bergerak maju. Kenapa kamu anti dengan pembaharuan, kreatifitas dan
kemajuan?”, kata makhluk halus yang Open-minded.
“Itu bukan pembaharuan. Itu hanya emosi
yang meluap-luap. Cerminan dari ketidakmatangan.I tu bukan kreatifitas. Itu
wujud kejenuhan pada sesuatu yang teratur nan rapih. Itu bentuk adalah
pemberontakan.Dan itu bukan kemajuan. Itu adalah penyimpangan. Sesat jalan. Dan
jalan itu, suatu saat akan membawa kita pada posisi kita semua. Dan itu bukan
kemajuan, tetapi malahan merupakan kemunduran,” kata Konservat.
Toar tak kunjung tiba.
“Dimana dia gerangan? Jangan-jangan,
dia telah diterkam binatang buas. Atau mungkin tertangkap oleh Patola7
yang besarnya seperti batang pohon kelapa itu. Sekarang sudah jam 2 sore.
Seharusnya dia sudah tiba disini setengah jam yang lalu.”
“Teman-teman mungkin sudah saatnya kita
pulang,” usul Yanli.
“Bagaimana kita pulang? Apa kita akan
kembali menyusuri rute yang kita lewati tadi?”
“Tidak. Kita harus terus mengikuti
kemana sungai ini akan membawa kita. Jaraknyapun lebih dekat.”
Sejujurnya aku masih suka
berlama-lamaan. Namun, semua kami nampak mulai kedinginan. Setiap tubuh kami
berguncang dengan cepatnya. Semakin kami mengeras semakin hebat guncangannya.
Tidak heran.Kami sudah disirami selama 2 jam. Tambah lagi hari mulai gelap.
Tetewatu kini terasa mulai menakutkan.
“Ayo jalan terus. Tak lama lagi hari
gelap.Tak ada yang membawa penerang. Kita harus percepat langkah kita. Kalau
tidak…..”.
Semua menjadi ngeri mendengar ajakan
yang mengancam itu. Tak ada yang mau bermalam di Lolombulan. Hutan Lolombulan
terkenal angker dan sarat dengan linta dan ular yang ukurannya sebesar pohon
kelapa. Kami bisa remuk oleh belitan ular.
Kami bisa kehabisan darah oleh gigitan
dan hisapan linta-linta buas.
“Kira-kira,Toar dimana ya? “, aku mulai risau.
“Sudah kubilang supaya tetap bersama.
Kenapa sih dia begitu keras hati.Menyusahkan saja!”
Setengah jam kami terbawah hentaran
sungai. Kini kami telah berada di area bernama Licu incawayo8. Kami berjalan terus.
Sekarang kami sudah di perkebunan
Punti. Mampir sebentar di Tampagula9.
Secara bergantian kami mengambil tombal10 dari wajan besar.
Tombal rasanya bertambah manis karena kami menggunakan tempurung kelapa sebagai ganti gelas. Tubuh kami jadi hangat. Rasa dinginpun hilang
dan terlupakan.
Sampai sekarang Toar belum terlihat.
Perjalanan berlanjut. Kami menuju
perkebunan Aser. Kami harus melintasi Aser lagi karena dua sepeda motor milik Anto dan Yanli ditinggalkan disana.
Hanya butuh waktu setengah jam untuk
tiba di kampung. Kami tiba menjelang malam.Tak ada orang tua Toar datang
menanyakan keberadaannya.
Mungkin dia memang sudah pulang lebih
dulu.Dia mungkin batalkan kepergiannya ke Tetewatu karena sakit perut.
Namun, aku lega.
Besoknya, kami bertemu Toar. Dia hanya
senyum-senyam dan seperti tak mau mengaku salah. Aku sedikit menunjukkan rasa
kesal padanya.Ternyata, dia memang tersesat di tengah hutan. Dia berusaha
menyusul kami tapi tak berhasil. Diapun pulang ke rumah saat jam sudah
menunjukkan pukul sembilan malam. Dia juga menceritakan bagaimana susahnya dia
berjalan pulang dalam kegelapan. Berjalan seperti tunanetra. Dia terlunta-lunta
di perkebunan Punti dan Aser. Berkat iman dan tuntunan ilahilah dia boleh
mencapai rumah. Syukur.
***
[Selesai 12 September pukul
23.00]
1 Batu
titian. Situs ini terletak di perkebunan dekat hutan Lolombulan. Orang-orang
peminat kodok sering ke tempat ini.
2
Leluhur/orang tua yang telah berpulang kea lam baka yang semasa hidupnya
dikenal sebagai orang bijak dan baik (Tontemboan).
3 Pisang
(Tontemboan). Punti adalah nama perkebunan yang terletak di utara desa Tondei.
4
Pilih-pilih dapat langsat busuk (Malayu Manado). Peribahasa ini berarti jangan
terlalu memilih supaya akhirnya tak mendapat yang buruk
5 Ketat
(Malayu Manado). Sekarang ini istilah tersebut berarti gadis atau wanita yang
menarik perhatian karena mengenakan pakaian yang ketat.
6
Berpikiran terbuka untuk menerima saran dan sudut pandang orang lain.
7 Ular
Piton (Melayu Manado). Juga sering disebut Moromok (Tontemboan)
8
Punggung kuda (Tontemboan). Area disebut Licu incawayo karena bentuknya menyerupai
punggung kuda.
9 Tempat
gula (Melayu Manado). Tempat ini adalah tempat dimana tahap terakhir dalam
proses pembuatan gula aren.
10 Air
nira yang sudah di masak (Tontemboan).
16.
Ketika Kita Kehilangan
Wany sampai di rumahnya saat hari belum
gelap. Begitu lega dia saat mencium aroma rumah. Dia senang karena sempat
memberi tumpangan kepada seorang ibu dan anaknya sewaktu dalam perjalanan tadi.
Kebanggan membantu orang itu nampak pada wajahnya yang berseri-seri.
Sementara karena tak muat, sang suami
dan bapak itu ditinggal saja. Dia harus membetulkan rantai sepeda motornya yang
putus. Tadi, sewaktu melihat motor mogok, Wany menepi dan menegur sekeluarga
itu. Tampak seorang wanita dengan seorang anak lelaki yang masih kecil duduk
pada batu-batu timbul yang besar. Menunggu. Si suami yang bernama Yohanes
begitu Kuat konsentrasinya. Hanya sekali
saja dia menoleh pada Wany. Rantai yang putus berusaha diperbaikinya dengan
hanya menggunakan tang dan obeng. Dia
memiliki keyakinan pasti sanggup memperbaikinya sebelum hari menjadi malam.
Mungkin sudah sering dia mengalaminya.
Wany memang tak tahan melihat orang
dalam kesusahan. Dia berupaya memberi bantuan selama itu bisa dilakukannya.
“Dimana jo ngana, jangan lupa tolong orang laeng yang susa,” itulah didikan
orang tua dan gurunya yang senantiasa dia ingat sampai sekarang.
“Kyapa?” sapa Wany dengan bahasa Melayu
Manado pegununungan yang berarti ‘kenapa’ sambil mendorong kaca helem keatas
untuk menyingkap wajahnya agar gampang dikenali.
“Putus tu rante no,” jawab Yohanes
sambil terus bekerja.
“Kalu kita, ta so nda tahu mo beking
bagimana itu,” Wany memberikan komentar merendah diri yang juga sebagai kata
lain bahwa dia tak bisa bantu apa-apa.
Bulan lalu, sewaktu sepeda motor Wany
mendadak mati, si Yohaneslah yang
membantu menariknya dengan menggunakan tali rafia hingga mencapai rumah. Kalau
tidak ditolongnya, tentu waktu itu Wany harus mendorong sepeda motornya
sepanjang 3 km. Dan pasti itu akan sangat melelahkan. Jalan Tondei yang rusak
dan bertanjakkan jauh akan menyukari Wany yang tak biasa. Mungkin ia akan tiba
di rumah ketika sudah jauh tengah malam.
“Nintau lai kyapa ona ini motor korang
putus-putus rante. Padahal baru ki’i ganti gir deng rante minggu lalu. Dorang
bilang kata gir so tajam. Baru ganti no,” keluhan sang istri tampak begitu
dalam. Menyiratkan kerisauan tak terselam.
Yohanes memang seorang suami yang
rajin. Namun pendapatan mereka kadang tidak cukup untuk mengongkosi kehidupan
mereka sehari-hari. Anggaran rumah tangga lebih banyak beralih kepada sepeda
motor yang sudah menjadi seperti anggota keluarga bagi mereka.
Walaupun keadaannya kini
memprihatinkan, tapi Yohanes tak berani sedikitpun meremehkan bantuan yang
telah roda dua itu lakukan. Meskipun sering mogok, perjalanan jauh setiap hari
menjadi ringan sejak kehadirannya. Sebagai imbalannya dia harus terus diberi
perawatan yang tak murah.
Wany ingin memberikan tumpangan bagi
mereka. Terutama kepada si wanita dan
anak yang masih berumur jagung itu. Tapi dia sedikit ragu. Bukan karena dia
pelit. Cuma, dia tak mau saja disangka maniso. Istri Yohanes memang
sungguh elok. Namanya Syuli. Kalau tak kenal, pasti dia akan disangka sebagai
seorang gadis. Kulitnya yang putih dan bodinya yang
aduhai menyimpan kenyataan bahwa dia telah menikah dan memiliki dua orang anak.
Wany tak mau saja dianggap berusaha
menolong karena ingin bersentuh-sentuhan dengan Syuli. Apalagi akhir-akhir ini
ada beberapa kasus perselingkuhan di kampungnya. Dia tak mau masuk dalam daftar
orang-orang yang akan terusir dari kampung.
“kita smo kamuka dang ne,” kata Wany.
Menunggu dan berharap mereka memintanya
bantuan.
Secepat kilat Yohanes memalingkan wajah
ke istrinya yang sedang duduk pada bebatuan timbul di pinggir jalan. Istrinya
nampak lelah. Penuh keringat. Seumpama gembel perawakannya.
“Ato ngana nae jo motor deng Wany,”
kata Yohanes kepada istrinya sambil menghentikan pekerjaannya sejenak.
Tangannya yang penuh oli tanpa sadar menyeka wajahnya. Wajahnya kini belepotan.
Terlihat dia mempercayai Wany. Mungkin pikirnya, “Tak mungkinlah seorang
pelayanan Tuhan melakukan yang macam-macam pada istrinya.” Padahal, yang paling
sering berselingkuh bahkan korupsi di negara ini justru mereka yang menyebut
diri sebagai hamba Tuhan dan pelayan rakyat.
Wany juga tak menyangka dia hendak
membiarkan tubuh istrinya bersentuhan dengan tubuh Wany. Sungguh tak akan Wany lakukan bila Wany beristri nanti. Tubuh
muda istri Wany tak akan pernah bersentuhan dengan tubuh orang lain. Jalan
Ongkau ke Tondei yang sarat dengan lubang dan batu besar timbul, tak mungkin
dapat menghindarkan mereka dari persentuhan. Tentu guncangan-guncangan akan
membuat mereka bersentuhan. Jarak 9 km cukup lama untuk Syuli memasrakan
hidupnya pada Wany. Saat sepeda motor Wany rem dia akan mendekat. Saat Wany
kencangkan, dia juga akan mendekat. Jadilah mereka seperti sepasang remaja yang
sedang pacaran di atas sepeda motor. Suasana akan begitu romantis ketika mereka
melihat pemandangan sekitar yang begitu indah. Deretan pohon nyiur dan cengkih
begitu menggiur. Gunung Lolombulan dan Sinonsayang kehijau-hijauan akan
menghadirkan suasana tenang hingga Wany akan tersihir untuk melambatkan sepeda
motor supaya kebersamaan dan sentuhan boleh berlangsung lama.
“Sudah?” tanya Wany pelan. Sepeda motor
bergerak. Mesin mulai berteriak-teriak menginjak-injak kerikil tajam dan
batu-batu timbul.
“Sudah,” jawab Syuli terlambat. Suara
dengan nada datar, terdengar begitu ringan sampai memabukkan teling Wany.
Sungguh suara yang lembut. Oh Syuli nama yang elok bak Yuli kekasih hati Romeo.
Sewaktu Syuli menaiki sepeda motor
tubuh Wany gemetar kecil. Wany penasaran dengan lembutnya tubuh seorang wanita
bersuami dan beranak satu itu. Wanita dengan pengalaman-pengalaman biologis
yang cukup lama. Wany sendiri, kalau dia mau jujur, belum pernah merasakan hal
yang demikian. Paling-paling dia hanya pernah menyaksikan dalam adegan-adegan
film biru yang disuguhkan secara paksa oleh teman-temannya sewaktu masih
bersekolah di SMU Tombasian. Berbagai jenis gaya dan aliran sudah dia lahap
semua. Itu nanti akan jadi rujukan ketika menikah nanti. Di umurnya yang sudah
hampir tiga puluh dia bukan makin tambah bijak namun libidonya semakin
mendesak. Kadang dia merasa sulit menahan desak-desakan badani itu. Kadang
terpikir untuk segera menikah supaya dia bisa menyalurkan segala nafsu alamiah
itu. Tapi, dia tak ingin menjadikan itu sebagai alasan utama untuk masuk dalam
rumah tangga. Dia tahu, tidak sedikit pernikahan yang hancur karena hubungan
kelamin yang diutamakan daripada keterkaitan batin. Kalau pernikahan sinonim
dengan hubungan badan, berarti kita tak beda jauh dengan hewan. Pikirnya.
Seperti yang ia duga. Semakin jauh roda
sepeda motor berlari, pegangan Syuli kian erat. Tangan Syuli membuat Wany
membagi konsentrasinya. Mengemudi dan menahan gidik dan geli.
Wany memang seorang yang kolot. Waktu yang diberikan Tuhan lebih banyak dia
habiskan dengan membaca. Otaknya penuh dengan teori tapi semua itu sulit baginya
dibuat jadi. Dalam hal wanita dia selalu angkat tangan. Tak punya waktulah. Ada
yang lebih diutamakanlah. Pokoknya, tak pernah dia kehabisan jawaban ketika
ditanyai perihal wanita. Faint heart never wo fair lady. Orang yang penakut takkan
mendapat seorang gadis yang cantik. Itulah pepatah Inggris yang menggambarkan
Wany. Bagi dia, buku adalah teman sejati. Kemana-mana buku selalu
membuntutinya. Tapi bagi orang lain, bukulah yang menghantuinya. Sungguh
kasihan. Rugi kalau dia tak punya keturunan. Wany seharusnya mengabadikan
dirinya. Dia harus menyambung turunan. Hidungnya yang mancung, otaknya yang
cerdas, sifatnya moralis adalah tipe manusia surga. Dia termasuk dalam golongan
orang suci. Ya dia pantas diberi gelar santo. Dia juga adalah manusia pilihan.
Dalam hal wanita dia kalah. Tapi bukan berarti sifat itu membatalkan dia untuk
masuk dalam kategori santo atau orang pilihan. Tentu di jaman modern tidaklah
sulit mendapatkan keturunan dari dia. Kloning adalah jalan keluar bagi jenis
manusia individual.
Kini misi menyelesaikan 9 km hampir
selesai. Sedikit lagi Syuli turun. Selama perjalanan Syuli tak sedikitpun
bicara. Walau hanya sekedar basa-basi. Saat dia menapakan kaki ke pijakan
sepeda motor seperti dia langsung di nontaktifkan oleh suaminya. Ini untuk
mencegah supaya tidak terjadi sesuatu yang buruk di antara kami. Jadinya Wany
seperti menggonceng kayu. Benda tak bernyawa. Wany sedikit kesal sekaligus
bersyukur. Kesal, karena sebagai manusia dia yang diposisikan hanya sebagai
tukang ojek. Syukur karena niatan buruk akhirnya tak menjadi kenyataan. Wany
tentu bahagia. Dia lolos lagi dari satu ujian hidup.
Wany mengantarkan Syuli dan anaknya
sampai depan rumah mereka. Begitu kendaraan beroda dua itu berhenti, Syuli
diaktifkan oleh suaminya dari jarak jauh. Mereka ternyata memiliki telepati
yang terlampau kuat. Banyak rumah tangga
yang berantakan akhir-akhir ini sebab mereka (pasangan suami istri) tak
memiliki telepati. Saat bersama orang lain seringkali mereka lupa diri. Lupa
anak bini. Lupa anak dan suami.
“Singgah kwa e,” kata Syuli saat kedua
kakinya dan anaknya menginjak tanah. Senyuman Syuli begitu mesra. Pasti
suaminya bahagia punya istri seperti Syuli. Dia rela tubuhnya lelah, lecet dan
tergores karena menopang suami di kebun. Tak banyak lagi perempuan seperti
Syuli di jaman sekarang. Kebanyakan sesamanya lebih banyak sibuk dengan urusan
rambut: cat warna, rebonding, keriting,
keramas, busana, bedak dan segala tetekbengek yang sebetulnya tak
penting itu. Wanita masa kini suka sekali dimanja suami. Mereka jadi bergantung
dan tak lagi mandiri. Tak heran mereka banyak menjadi korban keganasan pria.
Banyak suami meninggalkan istri karena mereka tak menjalankan tugas sebagai
penolong yang sepadan. Mereka menjadi beban. Ketika suami tak mampu lagi membeli
mereka pakaian yang bagus, bedak, cat kuku, lipstik, pewarna rambut, sepatu
berhak tinggi, dan rupa-rupa barang lain, maka menuding suami tak lagi sayang.
Harta dan materi telah menjadi ukuran sayang dan cinta bagi mereka.
Syuli sangatlah berbeda. Dia tak suka
berias, kecuali saat ke pesta. Dia tak suka ikut-ikutan mengecat rambut. Karena
itu hanyalah pemborosan. Wany terpesona dengan Syuli. Walaupun Wany sendiri tak
tahu pasti apa Syuli menjalani hidup itu karena panggilan atau karena tak ada
pilihan.
Hidup ini sangat sulit dimengerti. Kita
tak boleh menilai hanya dari kulitnya
saja.
Namun, paling tidak, meskipun tak tahu
pasti, Syuli adalah salah satu panutan di antara para wanita masa kini.
“Smo langsung pigi ini. Banya kerja
lai,” Wany menjawab cepat. Kalau Syuli pintar, pasti dia memahami kegalauan
hati Wany. Dia sedang bergulat dengan dirinya sendiri.
Sesampai di rumah Wany melepaskan satu
per satu pakaiannya. Jaket dua lapis membuatnya kepanasan. Dia kini harus
membuang ingatan tentang Syuli. Tak baik memikirkan istri orang terus.
Lama-lama Wany bisa menginginkannya. “Janganlah kamu mengingini kepunyaan
orang,” itu adalah satu satu hokum yang ditetapkan Tuhan. Wany hafal betul ayat
itu. Dia menuju pintu dan membukanya.
Ibu Wany tak bersuara melihat
kedatangannya. Padahal selama tiga hari belakangan dia tak berada di rumah.
Wany juga tak ingin tergesa-gesa menyimpulkan bahwa orang tuanya tak peduli.
Hanya senyum kecil yang nampak dari wajah Ibunya.
Teringat di kantong ada amplop putih
pemberian orang. Wany kembali tersenyum lebar. Dia tahu ada uang sejumlah besar
dalam kantong jaketnya. Selesai memberi
kuliah tadi dia diberi amplop putih. Biaya transpor. Para mahasiswa
memberi tanpa diminta. Mungkin mereka iba melihat dosen mereka yang tak seperti
dosen lainnya yang datang dengan mobil mewah tapi selalu memeras mereka dengan
biaya diktat dan lain sebagainya. Rencananya uang Rp. 200.000 itu akan dia
gunakan membayar cicilan laptop yang baru diambilnya dari teman. Wany sudah lama mengimpikan punya laptop.
Bakat terpendamnya, menulis, bisa tersalurkan lewat benda itu.
Muncul perasaan bangga. Jerih payahnya
tidak sia-sia. Tak rugi dia giat belajar sewaktu kuliah. Semua itu sangat
berarti. Dia so pasti berhak menikmati. Senyum di wajahnya kian
mengembang.
Tak sabar melihat uang itu, diapun
merogoh sakunya.
“Apa?! Tidak mungkin!” detak jantung
berhenti mendadak. Dia coba memastikan lagi. Tak ada amplop di kantong jaket
birunya. Dilihatnya dengan seksama tapi tak ditemukan. Wany terduduk lemas.
Pikirannya berjalan jauh ke belakang. Kembali menyusuri perjalanan jauhnya.
“Tidak mungkin!” keluhnya sedih.
Kali ini dia mencurahkan semua barang
dalam tas punggung. Semua kantong pakaian digeledanya. Tapi tak ada.
“Pasti sudah hilang,” keluhnya putus
asah.
Dia merenung.
“Mungkin ini adalah akibat karena
pikiran mesum sewaktu menggonceng Syuli,” Si Wany lain mulai mempersalahkan
diri.
Tak tahan dengan perasaan kehilangan
itu, Wany bercerita ke orang tuanya.
“Terima jo kenyataan. Anggap jo tu doi
itu pengganti soe-soe yang mungkin ngana da alami di perjalanan tadi,” kata
ayah Wany.
Wany heran dengan komentar ayahnya itu.
Itu pandangan yang sangat tak kristiani.
“Ada kore’e doi cuma asal taru. Nda
guna re’e ada dompet,” sembur ibu menyalahkan.
Ibu Wany memberikan koreksi pedas. Tak
satupun dari orangtuanya yang paham perasaannya. Dia tak mendapat penguatan.
Dua-duanya sesat menyalahkan.
Wany masuk kamar dan dia berdoa. Dia
berpikir dengan berdoa dia akan memperoleh ketenangan.
“Tuhan, kita perlu doi. Mar kalu doi
itu nda ciri di Tondei, muda-mudahan orang dapa supaya doi itu berguna for
dorang. Kalu ada yang sengaja ambe dari kita pe popoji, beking tu doi itu
tabale pakita spaya dia nda jadi papancuri.
Walaupun tak langsung hilang, kegalauan
dan rasa kehilangannya berangsur-angsur meninggalkan Wany usai dia berhubungan
dengan Tuhan. Sekian.
Selesai pukul 16.00
Minggu, 16 Oktober
2011
17. Kelabu di Kampung Baru
Dalam
keadaan tergesah-gesah kuparkir sepeda motorku. Rambut masih basah dan kocar
kacir. Ini karena aku bangun nyaris kesiangan. Di bawah pohon mangga yang
rindang sepeda motorku ku biarkan berdiri dengan dua kaki. Para siswa telah
berbaris rapih. Tiga orang siswa perempuan yang cantik sudah berada di depan
siap untuk memimpin senam caka-caka. Senam yang berasal dari Palu ini sedang
digandrungi dimana-mana. Tak terkecuali di desaku yang masih tergolong udik.
Ketenaran tarian poco-poco yang asli dari Manado kini terbenam. Sudah
tergantikan senam atau tarian yang sedikit erotis ini. Rasanya tidak patut
senam dengan dominasi gerakan pantat ini dibawa ke dalam lingkungan anak-anak
yang masih begitu polos. Dengan sedikit malu-malu ku langkahkan kaki menuju
kantor kepala sekolah. Di situlah kami para
guru mengisi daftar hadir.
“ser,
ada rumah yang terbakar.” Seorang siswa sedikit berteriak sambil menunjuk ke
arah kampung seberang yang tak jauh dari desa kami. Aku tak mengubris. Aku harus cepat-cepat supaya tidak kepergok
kepala sekolah karena datang terlambat 10 menit.
Akhir-akhir
ini aku memang sering tidur setelah ayam berkokok di tengah malam. Banyak guru
yang memintaku mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan. Guru-guru yang
sedang kuliah terpaksa meminta bantuanku karena mereka tak sanggup mengerjakan
tugas-tugas dosen. Sungguh ironis.
“Ser,
coba lihat. Ada yang kebakaran,” Siswa bernama Kifli itu mendesak. Masih tak
kupercaya. Kadang-kadang siswa di sekolah ada yang suka mencari perhatian
dengan cara seperti itu. Meskipun kurang
percaya, kupikir tak ada salahnya melihat apa yang ditunjuk oleh si Kifli.
Aku
urungkan niat mengisi daftar hadir. Kepala sekolah rupanya tak ada. Tak ada
hartop hijaunya. Pasti dia sakit.
“Ser,
ada rumah terbakar.”
Kulihat
kearah siswa yang terus menganggu itu. Senam baru saja dimulai. Mataku
terbelalak keheranan sebagian siswa melihat ke arah yang ditunjuk. Sejurus
kemudian pandanganku membeo pandangan mereka.
Asap
mengepul dan menjulang tinggi ke langit. Asap putih kehitaman. Tinggi jauh ke
atas. Mendadak aku terpikir rumah kami. Asap itu nampak berasal dari area Aer
Tondei. Ya Aer Tondei. Di kompleks situlah rumah kami berada. Tak sampai
hitungan ketiga aku sudah di atas sepeda motor lagi. Segera kuhidupkan dan
dengan cepat menyusuri jalan bebantuan dan berkerikil yang menurun. Tak sempat
aku pamitan. Tas yang berat tak sempat ku letakan di meja guru. Ku teringat
rumahku. Banyak barang berharga. Antara lain buku-buku, sertifikat,
ijasa-ijasahku.
Di
perbatasan kampung Tondei dan Tondei Satu, tepatnya di rumah hukum tua, aku
hentikan sepeda motorku sejenak.
“Vian!
Vian! Sepertinya ada rumah yang terbakar,” kataku sambil ngos-ngosan. Padahal
aku berlari dengan sepeda motor.
“Tidak.
Itu bukan rumah. Itu…ada seorang kakek yang sementara membakar rerumputan
mungkin. Dia berencana akan menamami lahan itu dengan berbagai jenis umbi.
Kemarin aku sempat bicara dengannya,” Jawab pria bujangan dengan tenang.
Orang
di sekitar rumah hukum tua yang kebetulan berkerumun terlihat dilayani penjual
sayur dan tahu serta nampak tenang-tenang saja. Tapi aku kurang yakin dengan
ketenangan mereka. Ketenangan itu mungkin disebabkan ketidaktahuan.
Aku
tancap gassepeda motorku melewati jalan berlubang. Badan sepeda motor bersuara
ribut. Tapi tak kupedulikan. Gas sepeda motor terus ku pacu. Saat mencapai di
depan SD Inpres, terlihat asap sangat tinggi. Tapi bukan dari rumahku. Sekarang
terlihat asap itu bersumber dari gereja. Gereja! Jangan! Gereja itu belum
selesai. Kenapa terbakar? Sekarang sepeda motor melewati rumah. Nampak
kerumunan orang memenuhi jalan. Juga di depan rumahku. Tapi tak terjadi sesuatu
buruk dengan rumahku. Dari kejauhan
terlihat rombongan sepeda motor dengan kecepatan tinggi.
“Kebakaran!
Kebakaran! Rumah tante Unggu terbakar!” pengemudi berteriak panik. Dengan
kostum rapih aku melesat menuju ke gereja. Asal asap kini terlihat berasal dari
rumah kostor yang berdiri di belakang gedung gereja. Beberapa sepeda membuntuti
dari belakang. Kami terlihat dan terdengar seperti sedang balapan. Raungan
sepeda motor memperburuk suasana. Orang-orang di tepi jalan terlihat semakin
panik. Ibu-ibu dan gadis-gadis perempuan berteriak historis. Ada yang jatuh
pingsan. Tampak begitu menegangkan. Saat tiba di gereja, kelihatan api
membumbung tinggi dari sebuah rumah di kampung baru. Jalan rusak berat dengan
nekad bersama-sama kami tempuh.
Sepeda
motor setengah tuaku ku parkir saja sembarangan di badan jalan. orang-orang
lelaki dewasa berlarian mondar-mandir mengambil air dari selokan. Air yang
sangat sedikit tidak sanggup memadam api. Saat disiram api kian bertamba besar.
Para wanita berteriak-teriak saat si bengis merah melahap rumah kayu berkamar
4. Rumah itu masih baru. Belum lama ditahbiskan oleh pendeta. Semua dinding
lenyap. Tiang-tiang satu persatu tumbang. Para orang dewasa berusaha merobohkan
tapi mereka menemui kesukaran. Kabel listrik terputus dan memancar-ancarkan api.
Dari
kejauhan aku melihat sepasang suami istri berteriak-teriak penuh tangis
berusaha masuk dalam rumah yang sedang lenyap. Beberapa orang beberapa kali
mencoba. Usaha apapun tak dapat menghentikan api. Satu-satunya cara adalah
menunggu sampai si bengis merah kenyang. Dengan begitu perlahan-lahan ia akan
menghilang. Mengetahui itu, para lelaki dewasa menyerah. Semua terduduk lemas
menjadi saksi keberingasan si bengis merah.
Kini
bengis merah telah pergi namun jejak panas masih terasa. Walaupun begitu para
lelaki dewasa berdiri dan kembali menjinjing ember. Disiram mereka sisa-sisa
api. Satu dua orang dengan berani menyusuri rumah yang tercabik-cabik. Bagian
atas yang jatuh membuat tumpukan di lantai. Alas kaki beberapa pria dewasa itu
mencair oleh bara api. Tapi mereka tetap nekad mencari sesuatu. Aku bingung.
Apa yang mereka cari? Tidak sebaiknya pencarian dilakukan setelah api
betul-betul sudah padam. Pasti ada sesuatu yang berharga.
Kini
telah ada 5 pria dewasa di dalam. Dengan menggunakan kayu panjang sebesar
lengan mereka mengorek-ngorek tumpukan. Tiba-tiba seorang pria…
“Oh
Tuhan. Oh Tuhan…kenapa kau biarkan ini terjadi. Dia masih kecil!”
Orang
banyak sontak berkerumun melihat apa yang ditunjuk si pria berperawakan tinggi.
Seorang
pria, belakangan ku tahu dia seorang mantan kriminal, mengangkat seonggok
tubuh.
“Oh
Tuhan! Oh Tuhan! Tuhaaaaaaaaan…!” kerumunan berseru dengan keras seakan-akan
mempersalahkan Tuhan karena menimpahi mereka dengan musibah yang begitu berat.
Tubuh
kecil berwarna hitam karena hamgus diangkat dan dipindahtangankan. Tercium bau
daging pangang. Perut anak kecil itu telah pecah. Isi perut terburai. rupa
tumbuh tampak begitu buruk. Jari tangan dan kaki telah tiada habis ditelan si
bengis. Teganya si bengis. Tak puas dengan rumah, dia juga melahap sebagian
kanak-kanak itu.
“Kain…
kain. “ kata pria yang menggotong tubuh terbakar.
Seorang
pemuda membuka pakaiannya dan merelakannya menjadi penutup mayat si anak. Brian
tewas mengenaskan sewaktu dia bersembunyi di bawah ranjang. Kata neneknya,
dialah yang memberitahu si nenek tentang api pertama kali. Sang nenek yang
telah lumpuh buru-buru di selamatkan ayahnya. Sewaktu ayahnya hendak kembali ke
kamar, amukan api sedang besar-besarnya. Dia berharap anak itu telah
menyelamatkan dirinya. Tapi, kini telah gamblang. Brian memang berusaha
menyelamatkan diri. Hanya saja di tempat yang salah.
Tangisan
kerumunan menggemuruh sampai ke langit.
“Tuhan…dia
hanya anak kecil. Kenapa dia? Kenapa…….?”
Saat
ku lihat jam tangan, aku insaf akan tugasku. Seharusnya aku di dalam kelas di depan siswa. Tak patut aku berada di situ.
Aku melangkah keluar melewati tumpukan manusia berdesak-desakan. Sepeda motorku
kini telah berada di tengah-tengah kerumunan sepeda motor lain. Satu persatu
sepeda motor itu ku pinggirkan.
Ku
putuskan untuk segera kembali ke sekolah tanpa kebut-kebutan. Pikiran masih
terganggu oleh kejadian na’as yang menimpa keluarga yang terhitung seumur
jagung. Brian baru berumur 4 tahun. Kakaknya, yang sulung, berumur 9 tahun.
Pasti sangat berat jika aku yang mengalami pergumulan itu.
Begitu
sampai di sekolah aku ke ruang guru sebentar. Betapa pedas kekesalan mereka
padaku karena keluar begitu saja dari sekolah pasti akan segera pudar saat ku
beritahu tentang kebakaran disertai foto dan video yang sempat ku ambil saat
kebakaran masih sumgringahnya membabat setiap bagian rumah yang cantik itu.
Untung, beberapa bulan lalu, aku sempat mengabadikan rumah itu dalam Hpku. Aku
pernah memiliki impian punya rumah sebagus itu. Rumah itu dibuat sendiri oleh sang
pemilik. Ayah Brian. Namanya Eben.
Seperti
yang aku duga. Waktu kaki satu langkah di ruang guru. Seorang guru telah
bertanya. Ku beritahu mereka mengenai peristiwa yang baru terjadi. Kaget mereka
bukan main. Walau hanya melihat dari video mereka tak bedanya seperti saksi
mata. Para guru berteriak dan membuahkan kegaduhan. Beberapa siswa dari kelas
sebelah berhamburan ikut serta bercambur baur dengan para guru karena
penasaran. Karena garang oleh kelakuan murid yang sudah tak sopan kata-kata
senonoh keluar meluncur.
“Pergi
sana. Binatang kalian!”
Para
murid hanya sedikit menjauh. Masih berharap ada sesuatu yang memuaskan rasa
keingintahuan mereka. Walaupun tak melihatnya videonya, mereka tinggal
mendekat, berharap mendapat informasi dengan mendengarkan indra pendengar.
Akupun menjelaskan. Para siswa terkejut sedih. Beberapa dari mereka masih
saudara dekat keluarga korban amukan si bengis merah.
“Jesika,
Indri dan Fike, kalian boleh pulang skarang. Tengoklah adik kalian.”
Mereka
langsung bubar dan kembali kelas untuk mengambil tas. Sudah itu mereka pulang
dalam keadaan muram.
“Musibah
itu memang cocok untuk mereka,” kata seorang guru perempuan berambut pendek.
Dia memang pernah cekcok dengan keluarga korban lahapan api.
“Kenapa
ibu berkata begitu. Sungguh tak baik berkata seperti itu.”
“Memang
betul. Mereka sudah pantas ditegur. Mereka jahat pada orang tua, anti gereja
dan tak menghormati pemuka agama. Kami sering dicemooh mereka. Tambah lagi,
mereka kurang sosial. Tidak mau bermasyarakat. Mentang-mentang orang berada.”
Tak
tahu apa yang dikata itu benar atau tidak. Tapi sungguh sangat tidak manusia
jika ada seorang menginjak orang lain yang sedang jatuh terperosok dalam
lubang. Sudah jatuh dari pohon tertimpah buah durian pula. Sungguh malang.
Aku
sendiri, bukan baru sekali saja mendengar rumor itu. Memang si bapak adalah
orang yang rajin bekerja. Ekonomi mereka cepat berkembang berkat kepiawaiannya
sebagai tukang kayu. Dia sanggup membangun rumah sendiri tanpa harus bekerja
selama 20 tahun. Ini membuat dia congkak dan merasa tak perlu bantuan orang
lain untuk bisa hidup. Tapi itu cerita yang sudah lewat. Sekarang tidaklah
begitu. Sudah kehilangan rumah. Perkakas pertukangan juga telah hilang tak
berbekas. Anak lelaki yang paling tampanpun ikut menjadi mangsa si bengismerah.
Walaupun begitu umumnya masyarakat bersimpati. Pemerintah dan gereja
bekerjasama mengumpulkan uang dan
material rumah:semen, kayu, batu, bata, pasir, tras. Belum selesai pemerintah
mengumumkan lewat pengeras suara, semua material yang diminta serta uang
berdatangan. Melebihi yang diharapkan. Yang tak sanggup memberi uang atau
bahan, mereka menyumbangkan tenaga untuk membangun rumah baru. Tak sampai
sebulan rumah permanen 3 kamar telah berdiri. Rumah kayu telah digantikan oleh
rumah beton. Gara-gara itu sekeluargapun sadar dan secara perlahan mulai
bermasyarakat dan bergereja.
Iswan Sual, S.S adalah seorang penulis
pemula. Namun dia sangat prihatin dan begitu bersemangat dengan untuk mulai
bergelut.Dia adalah lulusan S1 dari Universitas Negeri Manado.Fakultas Bahasa
dan Seni. Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Program Studi Bahasa dan Sastra
Inggris.
Dia berprofesi sebagai seorang guru di sebuah SD
dan SMP di desa Tondei dan dosen di salah perguruan tinggi di Sulawesi Utara.
Dia banyak terlibat dalam kegiatan gereja dan
kemasyarakatan di desanya baik sebagai pendamping maupun sebagai pelaksana.
Sekarang ini menjabat sebagai Ketua Komisi
Pelayanan Kategorial Pemuda Toaat GMIM “Bukit Moria” Tondei Satu.
Di tengah-tengah berbagai kesibukan dia masih
menyempatkan untuk membaca dan berekspresi lewat lewat puisi dan prosa.Dia juga
memiliki ketertarikan untuk belajar politik, sejarah, bahasa-bahasa asing lain
dan seni serta budaya. Dia berharap secara konsisten bisa melahirkan
karya-karya yang berakar dan bertumpuh pada pemikiran pemikiran Tou Minahasa
(Minahasan-based Thought). Ini lahir karena keprihatinannya bahwa orang
Minahasa kini semakin tidak produktif dalam pemikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar